Artikel
Hamparan Barikade Full Day School
Pendidikan merupakan sektor paling vital dalam mempersiapkan Indonesia masa depan. Minimal pada kurun 2025, sebagai akhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, masyarakat Indonesia mampu berdaya saing dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di area publik. Kemampuan berdaya saing ini, salah satu pilarnya adalah kemampuan negara mengelola berbagai kebijakan di ranah pendidikan. Problemnya kemudian, terkait dengan wacana yang digulirkan Mendikbud Muhajir Effendy perihal Full Day School, akankah wacana ini menjadi sebuah kebijakan negara dalam dunia pendidikan agar Indonesia mampu berdaya saing di masa depan? Bukankah sebuah kebijakan negara yang amat vital seperti kebijakan di dunia pendidikan, harus dikelola secara matang dengan merujuk berbagai aspek yang tumbuh dan berkembang di ranah publik. Pertanyaan di atas, sebagai satu cara untuk mencermati guliran ide yang dilontarkan Mendikbud, yang menuai pro kontra atas guliran ide Full Day School bagi anak didik SD dan SMP. Pro kontra perihal Full Day School ini, di satu sisi, memberikan sinyal positif bahwa publik merasa punya kepentingan untuk ikut serta melakukan pembenahan di sektor pendidikan. Sisi positif lain, negara dalam melahirkan sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tak boleh main-main. Mata masyarakat ikut juga sebagai ‘intel’, sebagai pengawas gerak kebijakan negara. Sejatinya konsep pendidikan Full Day School menyandarkan pada upaya pengembangan dan peningkatan pada anak didik, agar memiliki tingkat kecerdasan, Intelegence Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) yang seimbang dengan berbagai ragam inovasi yang cukup kreatif dari para guru, pegiat pendidikan di sekolah. Kurikulum yang dikembangkan dalam Full Day School adalah kurikulum integratif. Sebuah kurikululum yang mencoba menawarkan berbagai aspek kehidupan pada anak didik, baik aspek pendidikan umum maupun aspek pendidikan agama. Satu tawaran yang mencoba mengawinkan metode pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada buku sumber, tapi juga bersandar pada pengalaman dari para guru maupun pengalaman kehidupan sehari-hari dari anak didik. Kurikulum integratif juga menyodorkan bahan pembelajaran ditentukan secara demokratis antara guru dan anak didik. Bahan-bahan dikelola bersama terkait dengan problem aktual yang ada di masyaarkat. Artinya, anak didik dalam metode pembelajaranFull Day School, bisa jadi subjek, di mana si anak didik bisa menentukan bahan ajar sendiri. Selama ini proses belajar mengajar di kelas, seolah-olah anak didik dijadikan objek guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Anak didik tidak diberi peran untuk menguar berbagai pikiran yang tumbuh di benaknya. Pola Full Day School diharapkan mampu memberi wawasan baru bagi anak didik dengan metoda pembelajaran yang tidak kaku dan tidak baku. Di sini peran pembimbing, para guru, diharapkan mampu menjadi jembatan proses kegiatan belajara mengajar agar dinamis, penuh inovasi dan kreativitas. Jadi Full Day School tidak hanya berurusan dengan jam ajar yang bertambah tapi juga terkait berbagai elemen dasar yang harus dipenuhi pihak guru. Di sinilah problem Full Day School lahir. Berbagai ragam inovasi yang kreatif yang jadi elemen dasar dalam mengembangkan Full Day School dari para guru di sekolah, akan menuai banyak barikade mengingat aspek profesionalitas para guru yang masih beragam. Sikap profesional para guru, selama ini menjadi barikade bagi kegiatan proses belajarmengajar di kelas. Banyak guru yang tidak memiliki kompetensi kepribadian yang cukup memadai dalam mengolah bahan ajar untuk anak-anak didiknya. Kompetensi kepribadian ini terkait langsung dengan komitmen sang guru untuk memberi pelayanan bagi anak didiknya. Tentu saja, kualifikasi kompetensi kepribadian tidak sesempit komitmen mengajar, membimbing dan mendampingi para siswa belajar agar menjadi anak anak berprestasi di masa yang akan datang. Pada titik inilah, Full Day School akan menuai banyak barikade. Barikade itu muncul mengingat aspek profesionalitas guru, yang menjadi patner pembelajaran Full Day School, belum cukup memadai. Untuk itulah, penerapan Full Day School tak semudah yang dibayangkan Mendikbud Muhajir Effendy. Alasan Mendikbud yang bersandar pada waktu belajar yang cukup banyak di sekolah, di mana anak-anak bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya seusai jam kerja, justru bisa jadi bumerang bagi anak itu sendiri. Anak-anak kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan dunia riil di sekitar dirinya. Secara fisik mereka akan kelelahan dengan beban belajar yang amat padat. Anak-anak yang belajar di pedesaan, di daerah pegunungan, yang harus berjalan kaki hingga lima kilo meter menuju rumahnya, akan habis energinya untuk belajar pagi harinya. Di tengah sisi remang-remang Full Day School, tentu ada sisi terang dari penerapan wacana yang diigaukan Mendikbud. Sisi terang itu bermuara pada keterlibatan aktif dari para guru, anak didik dan orangtua murid. Tapi sekali lagi, sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus melalui prosedur kajian yang amat dalam. Program Full Day School itu baik. Baik itu baik tapi terlalu baik, tidak baik. Artikel dimuat dalam Kolom Opini KORAN TEMPO, Rabu 10 Agustus 2016.
|
Guru Harus Memiliki Kompetensi Sosial (2)
Pengantar Mendidik sebagai sebuah pekerjaan profesimenuntut setiap guru memiliki kompetensi sosial yang baik dengan tiga aspek kepentingan. Pertama, untuk melatihdan mengarahkan para siswa agar mampu menyesuaikan diri dalam profesi mereka, lingkungan profesi, dan juga lingkungan sosial. Kedua, untuk meningkatkan profesionalisme mereka dengan terus melakukan self improvement lewat kegiatan diskusi dan mutual mentoring bersama peer group-nya di sekolah atau jejaring sekolah dalam Kelompok Kerja Sekolah/Madrasah (KKS/M), atau melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Ketiga, guru juga harus memiliki kompetensi sosial untuk bersama manajemen sekolah/madrasah mengembangkan sekolah melalui peningkatan partisipasi masyarakat, tidak hanya dalam aspek sarana dan prasarana, tapi juga dalam keilmuan. Satu dari tiga konteks tersebut, sebagaimana sudah dikemukakan di atas, adalah kompetensi sosial untuk mengembangkan kualitas keguruan setiap guru melalui pembinaan dalam peer group mereka, baik dalam sekolah atau dalam jejaring sekolah. Tidak saja dalam aspek pedagogik, melainkan juga dalam penguasaan konten bahan ajar, pengembangan manajemen kelas, serta tugas-tugas keguruan lain dan berbagai kompetensi yang diperlukan bagi peningkatan profesionalisme mereka dalam melaksanakan tugas pokoknya. Kompetensi Sosial untuk Pengembangan Kualitas Guru Untuk menghasilkan lulusan berkualitas, memiliki daya saing di pasar tenaga kerja, diterima para pengguna lulusan,lolos seleksi di perguruan tinggi, serta memiliki kapabilitas untuk melakukan bisnis atau kewirausahaan, seorang guru dituntut berkualitas. Tuntutan bermutu pada guru tidak terbatas pada aspek-aspek penguasaan bahan ajardan bisa mengajar dengan baik, tapi juga memiliki kompetensi untuk mengembangkan kompetensinya dan menghantarkan para siswa tumbuh menjadi lulusan yang sesuai standar kompetensi, atau bahkan memiliki kompetensi di atas rata-rata standar kompetensi nasional. Untuk itu, para guru dituntut terus meningatkan profesionalisme mereka, salah satunya melalui pembinaan internal lewat peer group dalam komunitas mereka. Sementara itu, jika proses pendidikan sudah berakhir dan mereka sudah memasuki dunia profesi, para guru akan memiliki keterbatasan waktu dan kesempatan dalam meningkatkan kualitas diri, terutama jika harus ditempuh dengan proses pendidikan formalatau non formal. Mereka hanya memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme melalui proses informal, tanpa kelas, tanpa guru, dan bahkan mungkin tanpa jadwal mengikat. Hanya satu cara yang dapat mereka lakukan untuk meningkatkan mutu dirinya, yakni melalui Professional Group Mentoring (PGM). Proses ini bisa dilakukan di tengah-tengah waktu kerja mereka, bersama rekan kerja, dan di tempat mereka bekerja. Oleh sebab itu, guru harus membentukProfessional Learning Communities (PLC) sebagai wahana peningkatan kompetensi bagi peningkatan kualitas profesi mereka. Dalam hal ini, guru harus memiliki organisasi yang menyatukan mereka dalam satu asosiasi yang menghimpun keahlian sejenis. Untuk bisa masuk dalam komunitas profesional, apalagi untuk bisa memperoleh pembinaan sejawat melalui mentoring, setiap guru harus memiliki kompetensi sosial yang baik. Seorang guru harus memiliki sikap empati pada sejawat kolega guru, mau beradaptasi dan bisa diterima oleh lingkungan profesi mereka, responsif terhadap berbagai persoalan bersama, kontributif dan mau mendengar orang lain. Berbagai sikap sosial ini sangat diperlukan oleh setiap guru, terutama saat mereka berkeinginan untuk terus meningkatkan kualitas secara berkelanjutan, yang hanya dapat dilakukan dalam dan dengan PLC dan PGM. Kalau seorang guru termasuk tipe orang-orang introvert, tertutup, suka menyendiri, dan tidak mau menerima masukan dari orang lain, ia akan terus teralienasi dan sulit memperoleh mentoring dari koleganya. Padahal ini amat diperlukan bagi perbaikan mutu dirinya secara berkelanjutan. Indonesia sendiri sudah memfasilitasi para guru untuk berhimpun, bermusyawarah dan saling memperbaiki satu sama lain lewatpeer mentoring melalui wadah organisasi seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru-guru SD/MI dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Melalui forum ini mereka bisa mendiskusikan semua mata pelajaran di tingkat SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Hanya memang, asosiasi ini belum memiliki dasar hukum yang melegalkan pemerintah mengalokasikan belanja guna memfasilitasi kegiatan para guru. Oleh karena itu, kegiatan asosiasi ini dikembangkan dengan volunteer yang belum sepenuhnya bisa berfungsi meningkatkan kualitas guru secara berkelanjutan. Dengan demikian, dinamisasi peningkatan kualitas guru secara berkelanjutan melalui komunitas belajar masih terhambat oleh struktur pembiayaan, budaya guru, serta intensitas individual guru sendiri. Signifikansi dikembangkannya PLC, apakah dalam bentuk KKG ataupun MGMP, adalah untuk melakukan refleksi kolektif yang dilakukan semua guru dalam satu mata pelajaran atau semua guru kelas di SD/MI. Selanjutnya, dalam forum ini bisa dibahas permasalahannya secara bersama, dikaji solusi-solusinya, dirumuskan bersama dan dipraktikkan di masing-masing-masing satu pendidikan mereka. Itulah siklus aktifitas dari para guru dalam PLC mereka. Setidaknya ada tiga fungsi utama PLC ketika menjadi organisasi Teacher Learning Community (TLC). Pertama, membangun dan mengelola pengetahuan. Kedua,merumuskan formulasi-formulasi yang akan di-share pada seluruh anggota organisasi untuk diimplementasikan, selain juga merumuskan formulasi-formulasi outcome yang harus bisa dicapai para siswa. Ketiga, memelihara aspek-aspek dari budaya sekolah yang penting untuk dipertahankan dan bahkan untuk diteruskan, serta norma-norma sekolah dan pembelajaran yang harus dilaksanakan.[1] Asosiasi guru khususnya organisasi semacam TLC, yang di Indonesia berbentuk KKG dan MGMP, memiliki fungsi melakukan self improvement bagi gurudalam meningkatkan kualitas dan profesionalisme melalui pemberdayaan peer group mereka. Dalam wadah TLC, mereka melakukan sharing satu sama lain, apakah tentang bahan ajar, pengembangan bahan ajar, dan pengembangan teknik-teknik pembelajaran untuk optimalisasi pencapaian learning outcome para siswa. Kemudian, TLC juga berfungsi untuk merumuskanpengetahuan-pengetahuan yang harus dikuasasi semua guru, diajarkan pada siswa, program-program pembelajaran para siswa, serta berbagai budaya sekolah terkait mata pelajaran siswa, dan harus dipertahankan bahkan untuk terus dikembangkan.Dalam lingkaran TLC, para guru melakukan refleksi kolektif, yakni mencoba melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah mereka lakukan dalam kelas bersama para siswa, melihat kekurangan-kekurangannya, dan mencoba menyimpulkan apa masalahnya. Dalam forum TLC, seluruh guru bisa sharing atas permasalahan yang ditemukan untuk dibahas dan dicarikan solusinya bagi perbaikan berkelanjutan di dalam kelas dan sekolah. Bagi para guru senior, secara spikologis, mereka bisa mereformulasi sendiri solusi yang bisa mereka kembangkan dengan berbasis pada pengalaman empirik atau berbagai teori yang pernah mereka pelajari. Akan tetapi, bagi para guru baru, atau guru magang yang belum mampu mencari solusi sendiri, peer mentoring menjadi hal yang sangat perlu. Oleh sebab itu, asosiasi mata pelajaran, apakah dalam organisasi KKG atau MGMP, perlu mentradisikan Professional Group Mentoring (PGM). Mentoring itu adalah tradisi sharing and caring di kalangan profesional, termasuk para guru. Ia berfungsi membantu pengembangan kualitas pengetahuan dan keahlian guru. Mentoring bisa terjadi dalam dua konteks, yakni meningkatkan pemahaman tentang sesuatu yang sedang dan harus mereka kerjakan, dan juga untuk transformasi dengan menghadirkan pemahaman baru dan melakukan sesuatu yang baru. Setidaknya ada tiga tipe mentoring, yakni activity oriented, professional development dan personal support.[2]Mentoring activity orienteddilakukan bagi peningkatan kualitas pelaksanaan kerja, dengan peningkatan pemahaman konsep, implementasi teknis atau aspek-aspek lainnya dari sebuah pekerjaan. Dan bisa juga mentoring untuk meninggalkan pemahaman dan tradisi lama, beralih pada pemahaman dan tradisi baru. Kemudian mentoring untuk professional development, dilakukan dengan memberikan motivasi kepada para guru untuk menumbuhkan integritas pelaksanaan tugas demi peningkatan kualitas outcome para siswa. Sementara personal support, adalah mentoring pada para guru yang lebih pribadi di luar kompetensi profesional mereka. Persoalan-persoalan pribadi bisa mengganggu pelaksanaan tugas-tugas profesi guru. Jika guru depresi, frustasi, atau penurunan motivasi kerja karena faktor-faktor eksternal, bisa dibantu oleh peer group-nya agar kembali normal, dan bertugas dengan baik. Ada sembilan langkah pelaksanaan mentoring yang dapat dilakukan guru bersama peer group-nya, yang menuntut setiap guru memiliki kompetensi sosial yang baik. Sembilan langkah tersebut adalah sebagai berikut:[3]
Hanya dengan PGM para guru bisa meningkatkan kualitasnya secara berkelanjutan. Untuk bisa memperoleh PGM, setiap guru harus terlibat dalam TLC. Dan, untuk bisa terlibat dalam TLC, setiap guru harus memiliki kompetensi sosial dengan baik, harus bisa menerima dan diterima orang lain, responsif dengan permasalahan bersama, berkontribusi terhadap kemajuan institusi, dan berbagai kompetensi sosial lainnya. Oleh sebab itu, guru yang sudah mengajar di sekolah harus terus-menerus meningkatkan kompetensi sosialnya dengan aktif dalam asosiasi guru mata pelajaran, aktif berdiskusi dengan mereka, dan membina solidaritas kebersamaan, sehingga masing-masing memiliki rasa memiliki, dan para guru bisa melakukan PGM dengan baik, untuk peningkatan kualitas secara berkelanjutan. Setidaknya ada tiga manfaat besar dari TLC dan PGM sebagai wujud kesadaran para guru untuk meningkatkan kualitas, yaknirelatedness, structure dan autonomy.[4]Guru yang memiliki relasi sosial baik, akan memiliki kemampuan mengelola kelas dengan baik. Dan, suasana belajar yang kondusif dan akan mampu mendorong para siswa untuk menguasai bahan ajar sebaik mungkin. Kemudian, guru yang memiliki kompetensi sosial dan memiliki relasi sosial yang baik, dia juga akan terbiasa untuk berfikir strukturalistik. Oleh sebab itu, dia akan mampu menyusun bahan ajar yang sistematis dan mampu menghantarkan para siswanya menjadi anak-anak cerdas dan pintar, karena bahan ajar tersusun secara koheren, terkait satu sama lain, dan memudahkan para pembelajar untuk memahaminya lebih cepat. Demikian pula, guru yang memiliki relasi sosial baik dengan peer groupdan para siswaakan menghargai keunikan-keunikan para siswanya, bisa lebih mandiri dalam interaksi dengan para siswanya, hangat, motivatif dan terlibat penuh dengan emosi para siswa. Dengan begitu mereka akan menjauhi sikap pemaksaan dan kekerasan psikologis dalam membawa para siswanya terlibat dan terikat dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, para siswa akanterlibat penuh dalam proses pembelajaran dan mencapai prestasi terbaik mereka. Kompetensi Sosial untuk Mengembangkan Kerjasama Eksternal Upaya meningkatkan keberhasilan pendidikan untuk melahirkan anak-anak yang cerdas berdaya saing, tidak cukup hanya dengan program-program pembelajaran di sekolah. Keberhasilannya tidak cukup dengan hanya didukung oleh perpustakaan, koneksi internet, atau integritas serta loyalitas guru dalam mengajar. Lebih dari itu, ia juga membutuhkan partisipasi orang tua dalam keluarga, karena sebagian besar waktu anak bersama kedua orang tuanya di rumah. Oleh sebab itu, guru harus mampu meyakinkan orang tua siswa agar menjadi bagian dari proses pendidikan anak-anaknya bersama dengan guru mereka di sekolah. Bagaimana teknik berkomunikasi dengan orang tua siswa, meyakinkan mereka untuk berpartisipasi, dan bersama-sama mengembangkan program kegiatan siswa di luar sekolah, memerlukan kompetensi sosial yang baik. Guru harus bersikap responsif terhadap berbagai persoalan yang dialami para siswanya, assertif dalam menerima masukan-masukan dari orang tua, dan menghargai serta mengapresiasi masukan-masukan orang tua untuk mengembangkan program kegiatan siswa di luar sekolah. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan sekolah, pada umumnya terus berkurang ketika anaknya berkembang semakin dewasa. Terdapat kesalahfahaman, bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anaknya cukup dengan antar jemput anak dari dan ke sekolah, dan pengawasan serta pendampingan juga berhenti ketika anaknya sudah memasuki jenjang pendidikan menengah atas. Padahal, semakin tinggi jenjang pendidikan anak, semakin kompleks tuntutan keterlibatan orang tua terhadap pendidikan anak mereka. Orang tua dituntut mampu memberi masukan pada guru tentang aktifitas belajar para siswa, di lingkungan sekolah, di rumah, di masyarakat dan di berbagai tempat di mana para siswa banyak menghabiskan waktu luangnya. Secara umum, keterlibatan orang tua pada pendidikan sekolah/madrasah bisa dikategorikan pada dua macam, yakni involvingdan engaging.[5]Dua istilah yang lazim digunakan dalam pendidikan ini, secara leksikal bisa bermakna sama, tapi dalam konteks pendidikan biasa digunakan untuk kepentingan berbeda. Involving biasa digunakan untuk menjelaskan keterlibatan orang tua pada proses pendidikan anak-anak mereka di sekolah/madrasah atas permintaan guru agar terlibat dalam perogram-program sekolah, atau mungkin juga di rumah. Sedangkan engaging, adalah keterlibatan orang tua dalam pengembangan program pembelajaran anak-anak mereka di sekolah/madrasah bukan atas permintaan guru tapi justru atas inisiatif mereka sendiri untuk bersama guru mengembangkan program pembelajaran bagi anak-anak mereka. Ada enam macam aktifitas pendidikan yang memerlukan keterlibatan orang tua di dalamnya, yaitu sebagai berikut[6].
Tidak hanya orang tua, guru juga harus melibatkan masyarakat sekitar sekolah yang peduli dan paham pendidikan, dunia usaha yang menyerap tenaga kerja, atau perguruan tinggi, untuk secara volunteer berkolaborasi bersama guru mengembangkan program-program pembelajaran siswa untuk peningkatan kualitas lulusan. Akan tetapi, berkolaborasi dengan keluarga dan masyarakat akan berimplikasi bahwa guru dan manajemen sekolah harus melepaskan beberapa aspek otoritasnya, menjadi otoritas bersama, seperti pengambilan keputusan, akuntabilitas, dan bahkan optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana sekolah, yang harus dibahas dan diputuskan bersama dengan melibatkan orang-orang luar manajemen sekolah. Guru, melalui manajemen sekolah, harus mampu meyakinkan orang tua dan masyarakat yang secara volunteer mau berpartisipasi untuk kolaborasi dalam pembahasan program pembelajaran siswa, dan secara terbuka membahas optimalisasi pemanfaatan sarana yang ada, mengembang-kannya melalui partisipasi mereka, membuat perencanaan, koordinasi, pengembangan jejaring dan saling support antara satu dengan lainnya. Orang tua siswa dan masyarakat yang secara volunteer berkolaborasi dengan guru dan manajemen sekolah, diwadahi dengan komite sekolah. Dan ketika sudah memiliki komite sekolah, guru dan manajemen sekolah harus mengubah paradigma pengelolaan sekolah, menjadi lebih terbuka, dan memberi ruang bagi komite sekolah untuk berpartipasi dalam pengambilan keputusan sekolah, sehingga putusan-putusan guru dan manajemen sekolah akan merefleksikan pemikiran seluruh stakeholder, komprehensif dan lebih akuntabel, untuk peningkatan kualitas hasil pembelajaran siswa. Tidak hanya itu, manajemen sekolah juga berubah dengan mekanisme pengambilan keputusan yang lebih komprehensif, analisis pencapaian tujuan sekolah, pengembangan program-program dengan melibatkan komite sekolah untuk berkoordinasi, berkomunikasi, membahas secara bersama, diimplementasikan oleh para guru dan manajemen sekolah, lalu dievaluasi kembali secara bersama-sama. Akan tetapi, jika sekolah menghadapi permasalahan yang tidak bisa diselesaikan sendiri, bisa berkomunikasi dengan komite sekolah sebagai perwakilan dari stakeholder sekolah.[7] Pelibatan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan ini sudah dilakukan di berbagai negara maju, termasuk di Amerika Serikat, yang dapat menginspirasi kita untuk secara efektif melibatkan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan sekolah/madrasah. Dan untuk itu, setiap guru harus memiliki skill berkomunikasi yang baik, tidak inferior dan juga tidak superior dalam menghadapi orang lain, bersikap wajar, mampu meyakinkan orang lain untuk berpartisipasi dalam pendidikan di sekolah/madrasah, dan yang paling pokok adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri sehingga bisa diterima oleh keluarga siswa, dunia bisnis, organisasi sosial dan bahkan oleh perguruan tinggi sebagai pengguna lulusan sekolah/madrasah. Daftar Bacaan Adelman, Howard S.,and Linda Taylor, School and Community Collaboration to Promote Safe Learning Environment, Journal of National Association of State Board of Education, The State Education Standard, July, 2006. Furrer, Carrie J.,Ellen A. Skinner, Jennifer R. Pitzer, The Influence of Teacher and Peer Relationships on Students’ ClassroomEngagement and Everyday Motivational Resilience, National Society for the Study of Education, Volume 113, Issue 1, pp. 101-123, Copyright © by Teachers College, Columbia University. Hedeen, Timothy, Philip Moses and Marshall Peter, Encouraging Meaningful Parent /Educator Collaboration: A Review ofRecent Literature,Center for Appropriate Dispute Resolution in Special Education (CADRE) Eugene, Oregon, USA. Langelotz, Lill, Teachers’ peer group mentoring Nine steps to heaven, Journal of Education Inquiry Vol. 4, No. 2, Center for Teaching & Learning (CLU), University of Borås, Sweden, 2013. Roekel, Dennis Van,Parent, Family, Community Involvement in Education, National Education Association (NEA) Center for Great Public Schools,Washington, D.C., 2008. [1]Lill Langelotz,Teachers’ peer group mentoring Nine steps to heaven, Journal of Education Inquiry Vol. 4, No. 2, Center for Teaching & Learning (CLU), University of Borås, Sweden, 2013, p. 377. [2] Ibid., h. 378. [3] Ibid., h. 379. [4] Carrie J. Furrer, Ellen A. Skinner, Jennifer R. Pitzer,The Influence of Teacher and Peer Relationships on Students’ Classroom Engagement and Everyday Motivational Resilience,National Society for the Study of Education, Volume 113, Issue 1, pp. 101-123, Copyright © by Teachers College, Columbia University, p. 104 [5]Timothy Hedeen, Philip Moses and Marshall Peter, Encouraging Meaningful Parent /Educator Collaboration: A Review of Recent Literature,Center for Appropriate Dispute Resolution in Special Education (CADRE) Eugene, Oregon, USA, p. 2. [6]Dennis Van Roekel, Parent, Family, Community Involvement in Education, National Education Association (NEA) Center for Great Public Schools,Washington, D.C., 2008, p. [7] Howard S, Adelman, and Linda Taylor, School and Community Collaboration to Promote Safe Learning Environment, Journal of National Association of State Board of Education, The State Education Standard, July, 2006, p. 39.
|
Guru Harus Memiliki Kompetensi Sosial yang Baik
Pengantar Guru adalah profesi yang unik karena begitu banyaknya kompetensi yang harus mereka miliki dalam melaksanakan tugasnya mempersiapkan generasi yang akan datang. Sebuah generasi yang tentu saja memiliki tantangan profesi dan budaya sosialyang berbeda dengan sang guru sendiri. Sukses atau tidaknya guru dalam melaksanakan tugastergantung kepada mereka sendiri. Sebab kewenangan rancangan program kurikuler, program ko-kurikuler dan ekstra kurikuler, merupakan kewenangan sekolahyang dikembangkan oleh guru. Oleh sebab itu, guru harus memiliki kompetensi profesional yang sesuai dengan bidang tugasnyaagar mampu mengembangkan kurikulum, menyusun bahan ajar dengan baik, baik berbentuk modul, buku teks maupun lembar kerja siswa. Bersamaan dengan itu, guru juga harus mampu mengembangkan suasana belajar yang dinamis dengan tetap menghargai para siswanya agar mereka optimal dalam belajar. Dalam melaksanakan tugasnya, setiap guru harus memiliki integritas yang kuat dalam profesi keguruannyasekaligus meyakini bahwa profesinya sebagai guru merupakan pilihan terbaik bagi dirinya. Dengan begitu, guru bisa bekerja total untuk profesinya, bahkan dia juga harus mampu meyakinkan orang lain untuk mendukung program-program akademiknya, baik dari kolega sesama pengelola sekolah maupun para siswanya. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki setiap guru adalah kompetensi sosial, yakni kemampuan mengelola hubungan kemasyarakatan yang membutuhkan berbagai keterampilan, kecakapan dan kapasitas dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam hubungan antar pribadi.[1]Signifikansi kompetensi sosial bagi guru bisa dirasakan dalam banyak konteks sosial. Salahsatunya dengan para stakeholder sekolah, termasuk di dalamnya para pelanggan sekolah, pengguna lulusan sekolah, dan tokoh-tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh dalam proses pemajuan sekolah. Signifikansi juga dirasakan dengan kolega mereka di sekolahdan para siswa yang prestasinyaberada di tangan guru sendiri. Para siswa harus dihantarkan oleh para guru untuk bisa masuk dalam komunitas profesi, jasa, pedagang, atau bahkan harus mampu mempersiapkan para siswa untuk menjadi pengusaha yang sangat membutuhkan relationship dengan masyarakat luas. Kompetensi Sosial Guru Sebagai professionalyang memiliki tugas memajukan para siswa sehingga mereka bisa masuk dunia profesidan diterima dalam semua kalangan sosial, seorang guru harus memiliki kompetensi sosial untuk tiga konteks kepentingan, yakni: Pertama, mempersiapkan para siswa untuk memasuki dunia profesi, baik sebagai pegawai, pegawai negeri sipil, polisi, tentara, pegawai swasta, pengusaha, atau bahkan pemimpin politik yang kekuatannya terletak pada konstituen dan kesuksesannya berada kemampuan komunikasi sosialnya. Oleh sebab itu, para siswa harus dilatih untuk bisa memiliki kompetensi sosial, memiliki kecakapan untuk berkomunikasi, mempengaruhi orang lain, meyakinkan orang lain untuk bisa melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dia yakini, termasuk kemampuan menerima keragaman sosial, etnik, agama, ras dan budaya. Semua itu harus dilatih sejak mereka berada di sekolah. Lalu, bagaimana guru dapat melatih kecakapan sosial siswanya jika mereka sendiri tidak memiliki kompetensi tersebut? Untuk itu, seorang guru harus memiliki kompetensi sosial dengan baik. Kemampuan yang harus mereka latihkan secara terencana kepada para siswa, karena kecakapan ini tidak ditransformasi atau dilatihkan melalui kurikulum tertulis. Sebaliknya, kemampuan ini dibangun melalui kurikulum yang terselubung, namun menjadi bagian dalam proses interaksi guru-murid, baik dalam proses pembelajaran maupun melalui kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler. Kedua, memperkuat profesionalisme melalui proses peer-guidence, peer review sesama guru, baik di internal maupun lintas satuan pendidikan. Guru yang cenderung introvet, tertutup, dan tidak banyak berkomunikasi dengan sesama di sekolahnya, akan teralienasi dan tertinggal oleh berbagai perubahan. Sementara dalam lintas satuan pendidikan, pemerintah mendorong para guru memiliki wadah komunikasi satu sama lain. Dalam hal ini, pemerintah membantuk wadah guru sekolah dasar dengan Kelompok Kerja Guru (KKG)dan wadah guru sekolah menengah dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Kedua organisasi ini dibentuk dan dikembangkan bagi para guru untuk melakukan sharing tentang bahan ajar, metode dan strategi pembelajaran,evaluasi proses dan hasil belajar, pengelolaan kelas serta pengembangan penelitian untuk peningkatan layanan pembelajaran bagi para siswa mereka. Intinya, wadah komunikasi KKG dan MGMP ini dibentuk pemerintah dengan tujuan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang dimulai dengan peningkatan guru. Dengan demikian, guru harus terbuka, mau menerima dan memberi masukan, dan bersama-sama memikirkan inovasi dunia pendidikan bagi kemajuan Indonesia. Untuk itulah, maka setiap guru atau calon guru harus memiliki kompetensi atau kecerdasan sosial. Ketiga, memperkuat institusi pendidikan melalui optimalisasi partisipasi seluruhstakeholder sekolah guna meningkatkan mutu layanan pendidikan. Tugas ini seolah-olah merupakan tugas kepala sekolah/madrasah, padahaltidak seluruh kegiatan komunikasi dengan pihak-pihak luar dilakukan oleh kepala sekolah. Untuk konteks-konteks tertentu, khususnya tentang kemajuan para siswa pada mata pelajaran yang menjadi tanggung jawab guru, harus dikomunikasikan terlebih dahulu oleh guru. Demikian pula dengan perlakuan-perlakuan guru pada siswa dalam pembelajaran, seperti menambah jam belajar, melakukan remedial,reinforcement, dan kunjungan lapangan, merupakan kebijakan setiap guru yang harus dikomunikasikan dengan kepala sekolah/madrasah dan komite sekolah. Demikian pula saat para guru mencari informasi tentang kebutuhan-kebutuhan para pengguna lulusan, mereka harus mampu berkomunikasi dengan para pengguna, mendengarkan secara serius dan seksama, termasuk menghargai pendapat-pendapat mereka. Semua hal ini harus dilakukan setiap guru sekaligus merupakan kewajiban yang mengikat mereka, karena akan selalu ada setiap tahundan harus dilakukan sebagai tugas rutin. Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi dan kecerdasan sosial, agar sekolah memperoleh informasi yang dibutuhkan sekolah/madrasah untuk kemajuan dan pemajuan lembaga. Mempersiapkan Para Siswa Memasuki Dunia Profesi dan kehidupan Sosial Setiap anak akan memasuki dunia kerja seusai sekolah, apakah menjadi pegawai negeri sipil di kantor-kantor layanan publik, menjadi pegawai perusahaan swasta, jasa layanan publik yang komersial, merintis karir menjadi pengusaha, atau bahkan tertarik masuk ke dalam dunia politik. Demikian pula, mereka akan berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan kemasyarakatan, apakah di lingkungan tempat tinggal, asosiasi profesi yang mereka jalani, atau dalam berbagai konteks sosial lainnya. Secara psikologis, setiap manusia di dunia ingin bisa diterima dalam lingkungan sosialnya. Mereka tidak bisa terpisah dari lingkungannya, karena tidak satu manusia pun yang bisa hidup sendirian. Oleh sebab itu, setiap siswa di sekolah harus dipersiapkan dengan berbagai kompetensi sosial melalui program yang terdesain baik, dapat dievaluasi dan terukur. Setiap siswa sekolah, khususnya para siswa sekolah menengah yang akan memasuki dunia kerja harus memiliki kompetensi atau kemampuan menjadikan sumber-sumber potensial yang ada bermanfaat untuk mencapai tujuanhidupnya.[2]Para siswa harus dipersiapkan dengan kompetensi untuk memanfaatkan kesempatan yang ada guna mengembangkan profesi mereka, sehingga bermanfaat untuk diri, keluarga, masyarakat bangsa dan negaranya. Untuk itu, mereka harus dilatih dalam proses pendidikan sehingga bisa diterima oleh orang lain, mampu menerima kenyataan yang ada pada orang lain dengan kemampuan adaptasi, dan terbiasa untuk berkontribusi pada orang lain, kelompok atau organisasi. Kompetensi sosial pada akhirnya bisa disimpulkan sebagai konsep integratif, komprehensif dan holistik tentang kemampuan yang akan menghasilkan respon penyesuaian yang fleksibel, lentur dan sangat adaptif terhadap berbagai tuntutan dalam rangka kapitalisasi berbagai kesempatan dalam mencapai tujuan. Berbagai kompetensi sosial yang sebaiknya dimiliki para siswa, antara lain adalah:[3]
Sementara itu, Sharon A. Lynch & Cynthia G. Simpson menjelaskan bahwa para siswa sebaiknya dilatih dan dibiasakan beberapa sikap dan prilaku sosial yang baik, antara lain:[4]
Terkait hal itu, Heejeong Sophia Han& Kristen Mary Kemple, mengatakan setidaknya terdapat enam aspek kompetensi sosial yang harus dilatihkan guru kepada para siswanya. Tujuannya agar para siswa siap meraih kesuksesan dalam profesi maupun kehidupan sosial mereka. Keenam aspek tersebut adalah sebagai berikut:[5]
Berbagai pengalaman yang dicatat para akademisi ini memperlihatkan adanya tiga aspek yang terkait langsung dengan pengembangan kompetesi sosial pada siswa. Pertama, kompetensi emosional yang berbentuk sebuah keyakinan akan sesuatu yang baik untuk dikerjakan. Kedua, aspek kekuatan eksternal yang mendorong atau bahkan memaksa setiap orang untuk berbuat benar di tengah-tengah masyarakat berdasarkan sebuah kesepakatan tentang kebenaran yang dianutnya. Ketiga, kemampuan menjalin relasi sosial, baik dalam kehidupan profesi maupun kemasyarakatan. Sejalan dengan itu, Michaelene M. Ostrosky & Hedda Meadan mengatakan, agar bisa berinteraksi dalam kelompok sosial di kelasnya dan sekolahnya, setiap siswa harus memiliki beberapa kompetensi sebagai berikut:[6]
Khusus di Indonesia, seluruh siswa sekolah/madrasah harus dilatih untuk bisa bersikap terbuka dan menghargai keragaman etnik, agama dan budaya. Siswa Muslim, misalnya, harus bisa berpikiran terbuka dan menghargai atas perbedaan agama teman-temannya siswa beragama Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Sebaliknya, mereka harus bisa bersama dalam kehidupan profesi dan sosial mereka, sehingga bisa memiliki peluang berprofesi yang sangat luas. Para siswa sekolah/madrasah harus memiliki sebuah keyakinan, bahwa untuk bisa diterima oleh komunitas, harus memiliki attitude dan prilaku yang bisa membuat orang lain nyaman, tidak terganggu, dan bahkan mereka merasa perlu akan kehadirannya. Oleh sebab itu, setiap siswa harus dilatih untuk bisa memberikan perhatiannya pada orang lain, bisa peduli dan bisa memberi, tidak hanya dalam kehidupan sosial, tapi juga dalam kehidupan profesi. Semua kompetensi sosial ini, tidak akan bisa terbina dengan baik jika gurunya sendiri tidak memiliki kompetensi sosial yang lebih baik. Oleh sebab itu, guru dan calon guru harus berlatih untuk menjadi orang-orang yang bisa diterima dalam lingkungannya, berkontribusi terhadap lingkungannya, dan peduli pada para siswanya. Untuk itu, para guru dan calon guru harus memiliki lebih banyak kompetensi sosial, untuk bisa mereka latihkan kepada para siswa, visualisasikan dalam seluruh interaksi di sekolah, dan implementaskan dalam kehidupan profesi serta sosial mereka. Merujuk pada berbagai kompetensi sosial yang harus dimiliki siswa agar sukses dalam profesi dan kemasyarakatan mereka, maka setidaknya, para guru dan para calon guru harus memiliki berbagai kompetensi sosial sebagai berikut:
Para guru dengan berbagai kompetensi sosial yang dimilikinya, harus mentransformasikannya berbagai kompetensi tersebut kepada para siswanya sehingga mereka mampu meraih sukses dalam dunia profesi dan kehidupan sosialdi masa depan. Namun, karena tidak adanya mata pelajaran khusus untuk melatih kompetensi tersebut, termasuk bahan-bahan ajar yang relevan,pembelajaran komptensi sosial bisa disisipkan dalam dua mata pelajaran, yakni Pendidikan Agamadan Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran ini relatif relevan dalam pembelajaran kompetensi karena keduanya terkait pembangunan karakter siswa. Hanya memang perlu diingat bahwa pembinaan kompetensi sosial siswa merupakan tanggung jawab seluruh guru. Untuk itu, transformasi kompetensi sosial bisa dilakukan dalam berbagai cara, apakah penyusunan suasana kelas, strategi pembelajaran, atau bahkan melalui kegiatan-kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler. Guru Membina kompetensi sosial Siswa Lewat Proses Pembelajaran Guru dengan kompetensi sosial yang baik akan memiliki kesadaran tinggi untuk membina siswanya sehingga memiliki kompetensi sosial yang sama dalam menyongsong dunia masa depan dan profesinya. Untuk itu, guru harus mempersiapkan susunan kelas yang baik agar para siswa bisa mengembangkan interaksi sosial mereka,[7]sehingga mereka terlatih untuk bisa menjadi orang yang punya rasa empati pada sesama. Dengan demikian, susunan tempat duduk harus memfasilitasi para siswa untuk berdiskusi, sharing pemahamandan kerja kelompok. Dengan penyiapan tempat duduk seperti itu, guru sudah berupaya mempersiapkan para siswanya membina sikap empati, bisa berkontribusi terhadap sesama teman sekelas dalam pengetahuan, pemahaman, skil dan ketrampilan, belajar berkomunikasi efektif, dengan menggunakan teman satu kelompok sebagai komunikan, melatih kerjasama, melatih kerja kelompok, melatih para siswa untuk bisa menghargai orang lain, dan berbagai kompetensi sosial lainnya, yang bisa ditumbuhkembangkan melalui proses pembelajaran. Sejalan dengan itu, para guru harus mengembangkan proses pembelajaran yang sekaligus melatih kompetensi sosial siswa melalui langkah-langkah sebagai berikut:[8]
Mengembangkan kompetensi sosial siswa merupakan amanat yang diemban seorang pada guru. Ia dikembangkan bukan hanya melalui mata pelajaran, melainkan proses pembelajaran yang dilalui oleh para siswa dan difasilitasi oleh guru dan sekolah. Siswa harus difasilitasi untuk belajar secara aktif bersama peer groupnya, saling bertanya dan menjawab, berdiskusi satu sama lain, mengembangkan kebersamaan, sehingga sikap sosial mereka akan tumbuh perlahan dalam jiwa mereka, yang akan mewujud dalam bentuk tindakan-tindakan. Dengan demikian, kurikulum titu tidak semuanya merupakan dokumen tertulis, tapi juga perencanaan pembelajaran yang dipersiapkan guru yang memfasilitasi para siswa berinteraksi satu sama lain. Tidak hanya dalam kelas dalam bentuk diskusi, membahas topik bersama-sama, menyusun laporan hasil pembahasan bersama, dan mempresentasikan laporan bersama-sama, kompetensi sosial siswa bisa dikembangkan melalui kegiatan ekstra-kurikuler, apakah kegiatan pramuka, olah raga, atau organisasi siswa sendiri, dan juga program ko-kurikuler seperti penyiapan karya ilmiah siswa dan semisalnya. Semua kesempatan ini akan efektif menghantarkan para siswa mampu berkompetensi sosial yang baik. Tentu saja, hal ini juga menuntut sang guru memiliki kompetensi sosial yang lebih baik dari yang mereka latihkan pada para siswanya. Oleh sebab itu, tagihan kompetesi sosial bagi para siswa, merupakan tagihan bagi para guru untuk memiliki kompetesi sosial yang jauh lebih baik daripada yang dia latihkan pada para siswa.[] Wassalam
Daftar Bacaan Boucher, Michelle Dawn. Social Competence Education for Pre-Service Teachers. California State University: Sacramento, 2012. Knapzyk, Dennis and Paul Rodes. TeachingSocial Competence,SocialSkills and Academic Success. An IEP Resources Publication: Verona, 2001. Han, Heejeong Sophiaand Kristen Mary Kemple. Components of Social Competence and Strategies of Support: Considering What to Teach and How. Early Childhood Education Journal, Vol. 34, No. 3, December 2006. Lynch, Sharon A., and Cynthia G. Simpson. Social Skills: Laying the Foundation for Success, Dimensions of Early Childhood. Spring/Summer 2010, Volume 38, Number 2. Ostrosky, Michaelene M., and Hedda Meadan. Helping ChildrenPlayand Learn Together. Reprinted from Young Children • January 2010. Waters, Everett. Social Competence as Developmental Construct (reprinted). Developmental Review: State University of New York, 1983. [1]Michelle Dawn Boucher. Social Competence Education for Pre-Service Teachers. California State University: Sacramento, 2012, p. 7. [2] Everett Waters. Social Competence as a Developmental Construct (reprinted. Developmental Review: State University of New York, 1983, p. 2. [3] Ibid., h. 1. [4]Sharon A. Lynch & Cynthia G. Simpson. Social Skills: Laying the Foundation for Success: Dimensions of Early Childhood. Spring/Summer 2010, Volume 38, Number 2, p. 3. [5]Heejeong Sophia Han& Kristen Mary Kemple. Components of Social Competence and Strategies of Support: Considering What to Teach and How, Early Childhood Education Journal, Vol. 34, No. 3, December 2006, p. 241-243. [6]Michaelene M. Ostrosky & Hedda Meadan. Helping ChildrenPlayand Learn Together. Reprinted from Young Children, January 2010, p. 104. [7]Heejeong Sophia Han& Kristen Mary Kemple, op.cit., p. 243. [8] Dennis Knapczyk, Ph.D. and Paul Rodes, M.A. Teaching Social Competence,Social Skills and Academc Success. An IEP Resources Publication: Verona, 2000, p.14.
|
Guru Profesional Harus Memiliki Kepribadian yang Baik
Pengantar Pendidikan merupakan sektor yang paling penting dalam mempersiapkan Indonesia sebagai negara maju di masa yang akan datang, setidaknya di tahun 2025 sebagai akhir dari RPJPN 2005-2025, masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas berdaya saing. Untuk itu, sejak tahun 2003, pendidikan direvitalisasi dengan perubahan paradigma yang dianut, dari pendidikan sentralistik berbasis UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi pendidikan yang demokratis di tahun 2003. Dan, salah satu bentuk keputusan strategisnya adalah memberi kepercayaan yang sangat besar pada guru untuk meningkatkan perbaikan mutu sekolah untuk perbaikan mutu pendidikan secara nasional. Untuk itu, pada tahun 2005, Indonesia mengundangkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Ditegaskan pada Pasal 10 ayat 1 UU Nomor 14 tahun 2005, bahwa guru harus memiliki empat (4) kompetensi, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Inilah standar minimal seorang guru di Indonesia, khususnya guru-guru sekolah/madrasah formal, untuk menopang pelaksanaan tugas mereka dalam menghantarkan bangsa ke depan menjadi negara maju dengan mengandalkan kekuatan sumber daya manusia, lewat paradigma “knowledge based economy”, ekonomi berbasis pengetahuan. Keempat kompetensi itu harus mereka peroleh melalui pendidikan dan dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang memberinya kewenangan untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah juga mempersiapkan tunjangan profesi, baik guru negeri maupun swasta. Salah satu yang harus dipersiapkan untuk menjadi calon guru, dan harus dimiliki oleh setiap guru yang bertugas di sekolah/madrasah, adalah kompetensi kepribadian, atau kecerdasan personal. Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian merupakan salah satu kompetensi yang sangat penting untuk bisa dipenuhi setiap calon guru maupun guru yang mengajar di sekolah/madrasah agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. Memang, kompetensi kepribadian bukan bagian dari bahan yang akan dan harus diajarkan para guru pada para siswa mereka, tapi merupakan kekuatan yang harus dimiliki setiap guru, agar dapat menghantarkan para siswanya menjadi orang-orang cerdas (smart citizen). Guru pintar tidak akan terlalu bermanfaat jika tidak memiliki komitmen untuk mengajar dengan baik. Komitmen untuk mengajar, membimbing dan mendampingi para siswanya belajar, merupakan bagian dari kompetensi kepribadian. Akan tetapi, kualifikasi kompetensi kepribadian tidak sesempit komitmen mengajar, membimbing dan mendampingi para siswa belajar agar menjadi anak-anak berprestasi di masa yang akan datang. Maria Liakopoulou[1],peneliti dari Aristotle University of Thessaloniki Makedonomaxon, Halastra Thessaloniki, Yunani, menegaskan bahwa kompetensi kepribadian meliputi sifat-sifat yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan tugas mereka sebagai guru, yang dapat dilatih dan dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Selanjutnya dia membagi kepribadian tersebut ke dalam lima kelompok sifat sebagai berikut:
Seorang guru harus memiliki sifat profesional, dengan ciri-ciri utama memiliki komitmen untuk bekerja keras, memiliki rasa percaya diri yang baik, bisa dipercaya dan menghargai orang lain. Salah satu hal yang amat penting dari sifat profesional adalah memiliki komitmen untuk bekerja keras untuk kemajuan sekolah. Ciri-ciri orang memiliki komitmen bekerja dengan baik, menurut V. Murale, R Preetha, dan Juhi Singh Arora[2], setidaknya memiliki tiga ciri utama, yakni: Sangat percaya terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai oragnisasi (dalam konteks ini adalah sekolah/madrasah). Memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakan usaha-usaha yang sudah sangat dipertimbangkan untuk dan atas nama organisasi (sekolah/madrasah). Memiliki keinginan yang kuat untuk terus bekerja dan menjadi bagian dari organisasi (sekolah/madrasah). Sifat profesional dalam kepribadian seorang guru akan terlihat dari sikap komitmennya terhadap pekerjaan dan institusi pendidikan tempat dia mengajar, yang ditandai dengan tiga indokator besar, yakni sangat mempercayai institusinya, sangat ingin memajukan institusi pendidikan tempat dia bekerja, dan dia akan sangat berkeinginan untuk terus mendedikasikan keahliannya di institusi tempat di bekerja. Kemudian, sifat profesional dalam kepribadian seorang guru juga dapat dilihat dari rasa percaya diri, yang ditandai antara lain, memiliki motivasi yang kuat untuk berprestasi, memiliki emosi yang stabil, tidak meledak-ledak, bisa bekerjasama dengan orang lain, dan selalu mampu memberijalan keluar untuk setiap persoalan yang dihadapi dalam kelompoknya. Kemudian seorang guru dengan kerpibadian yang baik dan memiliki rasa percaya diri harus memperlihatkan cara berfikir yang selalu positif, selalu berkeinginan keras untuk memajukan insitusi, siap menghadapi risiko, dan sealu sehat, ceria dan energetik. Di samping itu, sifat profesional dalam kepribadian guru juga akan terlihat dari pribadinya yang luhur yang dapat dipercaya oleh orang lain. Sifat dapat dipercaya tersebut bisa ditandai dengan dua indikator besar yakni, kebiasaan berbuat kebajikan, yang ditandai dengan sikap yang sangat loyal pada institusi, pada kebijakan bersama dan loyal terhadap pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, kemudian bersikap terbuka, peduli dan selalu memberi dukungan pada institusinya. Kemudian, sifat dapat dipercaya juga bisa dilihat dari integritasnya terhadap berbagai nilai dalam pelaksanaan pekerjaan, yakni nilai-nilai kejujuran, keadilan, konsistensi dan selalu memenuhi janji[3]. Terakhir, sifat profesional dalam kepribadian guru juga bisa dilihat dari sikapnya yang menghargai orang lain, sehingga tidak akan menyia-nyiakan sisiwanya, dan tidak akan menyia-nyiakan orang tua siswa. Dengan demikian, dia akan menghasilkan hasil pendidikan yang memberi kepuasan kepada para siswa, orang tua siswa dan para pengguna lulusan, memberi kepuasan dalam proses layanan pendidikan, waktu yang bisa dihitung, biaya bisa dihitung dan produktifitas meningkat, bahkan nama baik dan keuntungan institusi juga terus meningkat. Kemudian dari itu, seorang guru profesional harus memiliki sifat kritis dan mampu berfikir analitis sebagai wujud kepribadian saintifik mereka. Sifat kritis dan kemampuan berfikir ini merupakan karakter yang dimiliki sebagai hasil proses pendidikan keguruan mereka sebelum menjadi guru. Kemampuan berfikir analistis sangat diperlukan bagi setiap guru agar mampu mendorong para siswanya menjadi kritis, dan memiliki kemampuan berfikir analitis dalam pelajaran yang mereka pelajari. Bagaimana para siswa akan menjadi cerdas dan memiliki kemampuan analisis yang baik jika gurunya sendiri tidak memiliki kemampuan berfikir analisis. Dan kenapa kemampuan analisis ini menjadi sangat penting? Linda Elder and Richard Paul, menjelaskan bahwa kalitas hidup dan apa-apa yang dihasilkan manusia, akan sangat tergantung pada kualitas berfikir manusia. Berfikir buruk itu sangat mahal, baik dari aspek uang maupun waktu. Jika kita ingin berfikir baik, maka kita harus memahami dasar-dasar berfikir yang baik.[4] Selanjutnya Linda Elder dan Richard Paul menjelaskan, setidaknya ada delapan (8) elemen berfikir analitis yang harus dipenuhi oleh setiap guru agar para siswa mampu melatih kamampuan berfikirnya dengan baik, yakni:
Inilah delapan unsur berfikir analisis yang pada umumnya para akademisi merujuknya serta menggunakannya sebagai langkah-langkah berfikir analitis, dan dijadikan variabel pengukuran kemampuan berfikir analisis seseorang. Dan bersamaan dengan itu pula, bahwa berfikir analitis harus konsepsional, yakni menggunakan teori-teori, model-model yang dapat dirujuk dari berbagai pendapat para ahli dalam bidangnya, dan memiliki legitimasi akademik untuk dirujuk. Berfikir analitis tidak cukup hanya dengan menggunakan logika rasional, dialektis, dan bahkan sistematis, tanpa menggunakan rujukan teri, model atau aksioma, karena akan terjebak dengan pemanfaatan common sense yang bisa jadi terbantah oleh teori-teori yang sudah berkembang. Kemudian dari itu, guru juga harus berkepribadian baik dengan memiliki sifat ekspektatif, dalam tiga arah ekspektasi, yaknipertama dia bisa diharapkan oleh manajemen, orang tua siswa dan para siswa sendiri untuk bisa bekerja produktif, menghasilkan siswa yang cerdas, dan bisa mendampingi seluruh siswanya belajar. Kedua, dia juga harus memberi harapan pada para siswanya, bahwa mereka bisa menjadi orang-orang hebat, tidak boleh berpretensi negatif pada para siswanya, dan tidak boleh memandang remeh para siswanya, tidak boleh sinis pada siswa karena lambat memahami pelajaran, dan tidak boleh sinis karena siswanya berprilaku nakal. Dampingi mereka, sayangi mereka dan perbaiki prilakunya. Ketiga, dia juga harus menaruh harapan penuh pada profesinya sebagai guru, bahwa profesi guru adalah profesi terbaik bagi dirinya. Dia tidak boleh sinis dengan pekerjaannya. Seorang guru tidak boleh berkata bahwa profesi keguruan adalah profesi orang-orang miskin. Mereka harus bangga dengan profesinya sebagai guru. Tidak baik bagi seorang guru untuk mempermasalahkan profesi keguruannya dengan mengkaitkannya pada indeks gaji yang tidak memadai, karena dia masuk setelah dia tahu bahwa gajinya tidak memadai. Kalau tidak suka dengan indeks gaji seperti itu, ambil putusan segera, dan cari alternatif yang lebih baik. Tidak boleh profesi keguruan menjadi terhina oleh guru sendiri hanya karena indeks gajinya yang tdiak memadai. Demikian pula dengan sikap mereka pada siswanya[5]. Untuk menjadi seorang guru yang berkepribadian baik, seseorang juga harus memiliki sifat manajerial, dengan fleksibbilitasnya dalam menghadapi para siswa dalam kelas. Dia harus memiliki keahlian dalam perencanaan kelas, mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepat memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik, memiliki kemampuan dalam mengatasi dua atau lebih aktifitas kelas dalam satu waktu yang sama. Kemudian dia juga harus mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan, dapat menerima suasana kelas yang ribut dengan kegiatan pembelajaran, memiliki teknik untuk mengontrol kelas, dapat memelihara suasana tenang dalam belajar, dan tetap dapat menjaga siswa untuk tetap belajar menuju sukses[6]. Dan semua yang dilakukannya harus bisa dipertanggung jawabkan pada kepala sekolah dan komite sekolah, sehingga tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan dengan layanan guru profesional, dan bahkan semua fhak merasa puas dengan layanan pembelajaran dari mereka. Kompetensi kepribadian juga harus dilengkapi dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya, dia harus mampu mengembangkan dua karakterisitik interaksi guru dengan lingkungannya melalui dua budaya, collegiality dan collborasi.Collegiality bermakna interaksi guru dengan sesamanya baik dalam aspek intelektual, sosial, moral, emosional, dan bahkan mungkin dalam aspek politik atau kebersamaan dalam aktifitas organisasi profesi, Sedangkan Collaborasi lebih pada konteks kerjasama intelektual, saling membimbing dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran, evaluasi dan berbagai aktifitas diskusi penyelesaian berbagai persoalan pekerjaan sebagai guru[7]. Dua karakter peribadian guru tersebut, akan beririsan dengan kompetensi sosial, tapi masih lebih kuat sebagai kompetensi kepribadian, karena guru profesional harus mampu berinteraksi dan mengembangkan relasi sosialnya minimal dengan kolega guru dan tata usaha di sekolahnya, tidak boleh teralienasi dari lingkungannya. Bagaimana guru bisa berkomunikasi dengan orang tua siswa, jika berkepribadian sangat tertutup atau lebih suka menyendiri, introvert, dan tidak menyukai berkomunikasi dengan orang lain, padahal perkembangan siswanya harus disampaikan pada orang tuanya, pada kepala sekolah, atau pada pada walinya. Inilah lima ciri kompetensi kepribadian calon guru atau guru profesional, yang terkait langsung dengan tindakan mereka sebagai seorang guru, agar mampu menghantarkan para siswanya menjadi smart and competitive citizen, melalui proses pembelajaran yang dikelola oleh dia dengan melibatkan tiga kompetensi lainnya, pedagogik, profesional dan sosial. Akan tetapi masih banyak kompetensi kepribadian yang harus dipenuhi guru profesional dan sangat mendukung karya-karya profesi mereka sebagai seorang guru. Sifat-sifat tersebut antara lain adalah sebagai berikut[8].
Inilah beberapa sifat kepribadian guru yang ideal yang bisa diharapkan akan mampu membawa perubahan pada tradisi belajar para siswa, agar menjadi SDM bangsa yang cerdas berdaya saing. Dan supaya mereka nyaman dalam pelaksanaan tugas, maka para guru dan calon guru harus diyakinkan bahwa profesi guru adalah pilihan terbaik baginya. Tidak boleh sinis dengan pekerjaannya. Dia tidak boleh berkata bahwa profesi keguruan adalah profesi orang-orang miskin. Mereka harus bangga dengan profesinya sebagai seorang guru. Tidak baik bagi seorang guru untuk mempermasalahkan profesi keguruannya dengan mengkaitkannya pada indeks gaji yang tidak memadai, karena dia masuk setelah dia tahu bahwa gajinya tidak memadai. Kalau tidak suka dengan indeks gaji seperti itu, ambil putusan segera, dan cari alternatif yang lebih baik. Tidak boleh profesi keguruanmenjadi terhina oleh guru sendiri hanya karena indeks gajinya yang tdiak memadai. Wallahu a’lam bi al-Shawab. Daftar Bacaan Maria Liakopoulou, The Professional Competence of Teachers: Which qualities, attitudes, skills and knowledge contribute to a teacher’s effectiveness, International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 21 (Special Issue) – December 2011. V. Murale, R Preetha, dan Juhi Singh Arora, Employee Commitment and Patient Satisfaction: An Initial Reflection from Indian Healthcare Sector, Paper was Presented in the Conference on Advances in Environmental Science and Energy Planning, 2015. Jason A. Colquitt, Brent A. Scott, and Jeffery A. LePine,Trust, Trustworthiness, and Trust Propensity: A Meta-Analytic Test of Their Unique Relationships With Risk Taking and Job Performance, Journal of Applied Psychology Copyright 2007 by the American Psychological Association 2007, Vol. 92, No. 4, Dr. Linda Elder and Dr. Richard Paul, Analytic Thinking How To Take Thinking Apart And What To Look For When You Do The Elements of Thinking and The Standards They Must Meet, CambrIdge UnIverSIty, UK 2009 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Prenada Media, Jakarta, 2004, h. 113 Lucy M Jarzabkowski, The social Dimensions of Teacher Collegiality, Journal of Educational Enquiry, Vol. 3, No. 2, Murdoch University, Western Australia, 2002, h. 2 Minghui Gao and Qinghua Liu, Personality Traits of Effective Teachers Represented in the Narratives of American and Chinese Preservice Teachers: A Cross-Cultural Comparison, International Journal of Humanities and Social Science Vol. 3 No. 2, 2013, h. 85 Eva Burchardt and Ralf Schiebuhr Christian, Basic Personal Competencies for Teachers, Counsellors, Supervisors, Albrechts−Universität zu Kiel Erziehungswissenschaftliche, h. 3 Ioannidou F., Konstantikaki V., Empathy and emotional intelligence: What is it Really About? International Journal of Caring Sciences 1(3):118–123, 2008, h. 119 [1]Maria Liakopoulou, The Professional Competence of Teachers: Which qualities, attitudes, skills and knowledge contribute to a teacher’s effectiveness,International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 21 (Special Issue) – December 2011. [2]V. Murale, R Preetha, dan Juhi Singh Arora, Employee Commitment and Patient Satisfaction: An Initial Reflection from Indian Healthcare Sector, Paper was Presented in the Conference on Advances in Environmental Science and Energy Planning, 2015. [3]Jason A. Colquitt, Brent A. Scott, and Jeffery A. LePine,Trust, Trustworthiness, and Trust Propensity: A Meta-Analytic Test of Their Unique Relationships With Risk Taking and Job Performance, Journal of Applied Psychology Copyright 2007 by the American Psychological Association 2007, Vol. 92, No. 4, [4]Dr. Linda Elder and Dr. Richard Paul,Analytic Thinking How To Take Thinking Apart And What To Look For When You Do The Elements of Thinking and The Standards They Must Meet, CambrIdge UnIverSIty, UK 2009 [5] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model pelibatan Masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan, Prenada Media, Jakarta, 2004, h. 113 [6] Ibid., h. 111 [7]Lucy M Jarzabkowski,The social dimensions of teacher collegiality,Journal of Educational Enquiry, Vol. 3, No. 2, Murdoch University, Western Australia, 2002, h. 2 [8]Minghui Gao and Qinghua Liu, Personality Traits of Effective Teachers Represented in the Narratives of American and Chinese Preservice Teachers: A Cross-Cultural Comparison, International Journal of Humanities and Social Science Vol. 3 No. 2, 2013, h. 85 [9]Eva Burchardt and Ralf SchiebuhrChristian, Basic Personal Competencies for Teachers, Counsellors, Supervisors, Albrechts−Universität zu KielErziehungswissenschaftliche, h. 3 [10] Ibid., h. 4 [11]Ioannidou F., Konstantikaki V., Empathy and emotional intelligence: What is it really about?, International Journal of Caring Sciences 1(3):118–123, 2008, h. 119 [12] Dede Rosyada, Op.cit., h. 102 |
Keterampilan, Pendidikan Agama, dan Kesadaran Bela Negara
Pengantar Partisipasi akademisi sipil dalam membahas bela negara sangat kurang, kalau tidak dikatakan tidak pernah. Pembahasan bela negara senantiasa dikaitkan dengan militerisme sebuah bangsa. Ini kenyataan empirik yang terlihat di dunia akademik. Padahal ancaman terhadap rasa aman masyarakat dan ancaman terhadap ketahanan nasional justru datang dari berbagai faktor di luar militer, seperti pengangguran terbuka yang menyebabkan peningkatan frekuensi kejahatan, pengangguran dan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan. Faktor-faktor demikian menyebabkan mudahnya anak-anak muda terprovokasi untuk ikut gerakan radikalisme dengan imajinasi negara berbasis agama dan akan memberi kenyamanan. Dan, mereka siap menjadi martir dengan angan-angan surga yang sudah menanti. Padahal, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka nasional mencapai 7.56 juta orang, atau sekitar 3 persen dari total jumlah penduduk Indonesia di tahun yang sama. Berdasar tingkat pendidikan, data mencatat, tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan 12,65 persen, disusul lulusan Sekolah Menengah Atas sebesar 10,32 persen, Diploma 7,54 persen, Sarjana 6,40 persen, Sekolah Menengah Pertama 6,22 persen, dan Sekolah Dasar ke bawah 2,74 persen. Sementara itu, jumlah penganggur terselubung diperkirakan mencapai 20 juta orang. Ini adalah problem besar bagi bangsa ini, karena pengangguran akan membawa permasalahan sosial, dan menjadi penyebab tindak kejahatan kriminal. Kemudian, rendahnya kemampuan ekonomi menyebabkan masyarakat (anak-anak muda) sangat mudah terprovokasi untuk turut melakukan tindakan-tindakan aksi radikalisme berbasis agama dan melakukan teror terhadap penguasa, yang pada gilirannya justru mengganggu dan mengancam masyarakat. Pelaku teror memiliki keyakinan bahwa mati adalah jalan terbaik, sementara masyarakat lain masih memiliki hak untuk menikmati kehidupan dunia dengan damai dan terjauh dari rasa ketakutan. Tahun 2011 bom bunuh diri meledak di mesjid di Cirebon, saat umat Islam melakukan ibadah jum’at. Sebelumnya di tahun 2009, dua bom juga meledak di Hotel JW Mariot dan Ritz Carlton, keduanya berada di Lingkar Mega Kuningan, Jakarta. Teror terjadi justru di tempat-tempat seharusnya umat manusia merasa aman dan nyaman berada di dalamnya. Penyebab utamanya adalah kemiskinan dan mereka tidak memperoleh pekerjaan yang bagus untuk kehidupan sosialnya, lalu dikemas dengan jihad keagamaan, sehingga mendorong mereka melakukan aksi-aksi yang membuat masyarakat tidak nyaman. Imbasnya, kepercayaan merosot, investasi menurun, dan geliat perekonomian tersendat sehingga pada akhirnya akan memperlemah ketahanan bangsa. Keterampilan, Keahlian, dan Pengembangan Jiwa Kewirausahaan Problem terbesar dari bangsa Indonesia adalah lemahnya jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Kendati sekarang sudah masuk dalam kelompok G20, atau termasuk dalam kategori 20 negara kaya di dunia, tapi proporsi wirausahawan dari total penduduk masih sangat lemah dengan komposisi hanya 1.6 persen, atau baru ada sekita 4 juta orang pengusaha, Mikro, Kecil, Menengah dan pengusaha besar. Padahal untuk menjadi sebuah negara maju, Indonesia memerlukan setidaknya 2.5 persen pengusaha, atau sekitar 6.250.000 orang. Dengan demikian, jika para pengusaha kuat yang melakukan konglomerasi dari hulu ke hilir melakukan aksi rush out, dan pengusaha kecil, menengah tidak tumbuh besar, Indonesia akan krisis luar biasa. Oleh sebab itu, Indonesia harus menumbuhkan peran dan signifikansi pengusaha kecil dan menengah, agar UMKM akan menjadi kekuatan yang mampu mempertahankan stabilitas ekonomi bangsa. Oleh sebab itu, pendidikan dari mulai jenjang pendidikan menengah baik SMK maupun SMA harus belajar bagaimana memulai wirausaha, menjaga sustainabilitas usaha, dan bagaimana memajukan usahanya. Demikian pula dengan para mahasiswa di perguruan tinggi, mereka harus memiliki bekal pengetahuan, skil dan teknik-teknik bagaimana berwirausaha, sehingga menjadi sarjana pencipta lapangan pekerjaan, bukan sarjana pencari pekerjaan. Bersamaan dengan itu, mereka yang tidak memiliki potensi untuk berwirausaha, harus dibekali dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Program studi di perguruan tinggi ada dua macam, yakni program studi yang memberikan keterampilan spesifik, seperti Program Studi Pendidikan Dokter, Kedokteran Gigi, Keperawatan, Kebidanan, Akuntansi, Hukum, Teknik Informatika dan lain-lain. Tapi bersamaan dengan itu, ada juga program studi yang mengelola ilmu dasar, seperti program studi Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Sosiologi, Antropologi, dan Humaniora, termasuk di dalamnya ilmu-ilmu agama Islam. Mereka yang belajar pada berbagai program studi tersebut harus dibekali “general transferable skill”, yakni keterampilan atau keahlian yang semua orang bisa memilikinya tanpa harus belajar pada program studi bersangkutan, seperti jurnalistik, pemasaran, atau keahlian-keahlian lain yang bisa diperoleh lewat short course bersertifikat. Dengan demikian, mereka akan bisa memasuki pasar kerja, dan tidak akan terbawa oleh provokasi negatif berkedok agama, dan bisa hidup lebih mandiri, bisa berkembang dan tidak akan melakukan aksi-aksi kejahatan atau penyakit sosial lainnya. Bersamaan dengan itu, kesepakatan Bali Concord II tahun 2003, sudah sampai pada puncak keterbukaan pasar 10 negara ASEAN untuk seluruh masyarakat anggota persekutuan bangsa-bangsa di Asia Tenggara tersebut. Terhitung Januari 2016 inifree flow of service sudah dimulai, kendati secara resmi baru pada bidang-bidang layanan dokter, dokter gigi, arsitektur, teknik sipil, akuntansi dan pariwisata, tapi seluruh profesi, sejauh anak-anak Indonesia berdaya saing dengan tangguh, mereka akan diterima di pasar regional tersebut. Untuk itu, mereka harus membawa keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat, memiliki keahlian berkomunikasi dengan bahasa yang digunakan di seluruh negara ASEAN yakni bahasa Inggris, dan memiliki budaya kerja yang baik. Free flow of service merupakan kesempatan yang baik bagi anak-anak Indonesia untuk berkarya dalam profesi mereka di Vietnam, Malaysia, Singapor atau Brunei Darussalam serta negara-negara ASEAN lainnya. Lingkungan strategis yang paling potensial untuk dapat melatih keterampilan, mendorong keahlian, kewirausahaan dan peningkatan kemampuan berbahasa adalah pendidikan formal yang didukung dengan program-program pendidikan nonformal. Untuk itu, maka peningkatan kesadaran masyarakat untuk pengembangan rasa aman bagi masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional, langkah strategis yang paling utama adalah suplementasi program-program pendidikan, khususnya di perguruan tinggi dengan program-program pembinaan skil, keterampilan, keahian dan kewirausahaan yang relevan. Dengan demikian, mereka lulusan perguruan tinggi bisa berpartisipasi dalam memperkuat frekuensi wirausahawan, aau setidaknya bisa berpartisipasi dalam berbagai sektor industri yang sudah ada dengan keterampilan dan skil yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Khusus untuk penyiapan anak-anak Indonesia untuk memasuki pasar ASEAN, pemerintah harus menetapkan sebuah kebijakan affirmatif baru tentang bahasa, yakni gunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah dan perguruan tinggi, bukan tidak nasionalis dengan meminimalkan penggunaan bahasa Indonesia, tapi jauh lebih nasionalis karena dengan kemampuan komunikasi bahasa Inggris baik, mereka bisa memasuki pasar kerja di berbagai negara di luar Indonesia, dan akan memberi sumbangan devisa bagi Indonesia, meningkatkan ketahanan Indonesia dan meminimalkan aksi-aksi kejahatan dalam negeri yang akan membuat masyarakat merasa tidak aman. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam bela negara saat ini menyentuh aspek-aspek tersebut, yakni mempersiapkan skil, keterampilan, keahlian dan kemampuan komunikasi bahasa yang diterima di seluruh masyarakat ASEAN untuk bisa masuk di pasar regional. Dengan demikian, mereka akan meningkatkan kesejahteraan dirinya, keluarganya dan juga negara dan bangsanya dengan peningkatan devisa yang mereka dapatkan di luar negeri dan dibawa pulang ke dalam negeri. Kemudian, bela negara juga dapat dilakukan dengan mengembangkan wira usaha untuk mendukung pemajuan ekonomi bangsa. Semakin kreatif sebuah bangsa, dan semakin inovatif sebuah bangsa, maka akan semakin kuat ketahanan ekonominya, dan akan semakin kokoh pula ketahanan bangsanya. Pemahaman dan Penghayatan serta Pengamalan Agama Indonesia memang masih dihantui dengan berbagai ketakutan dan semakin berkurangnya rasa aman. Belum reda masalah terorisme sebagai akibat pemahaman agama yang keliru dan ultra kanan, kini bangsa Indonesia dilanda serangan baru yaituseksual rap yang dilakukan bergerombol. Kasus Yuyun di Bengkulu yang sangat menghebohkan, karena pemerkosaan, pembunuhan dan diawali dengan minuman keras. Belakangan, kasus serupa menimpa seorang gadis di bawah umurdi Semarang yang dilakukan oleh sebuah group yang menamakan dirinya sebagai gang rap. Kasus serupa terjadi di berbagai kota di Indonesia, di Manado, Kediri, dan berbagai kota lainnya, dan hampir setiap hari berita ini menghiasi media cetak. Tidak ada wilayah di belahan bumi Indonesia ini yang aman dari ancaman pemerkosaan, selama ada minuman keras dan fasilitas akses pada pornografi. Problem lain yang mengurangi rasa aman bangsa Indonesia dan masih terjadi dan terus mengancam Indonesia adalah aksi-aksi kekerasan yang dilakukan dengan cara-cara teror yang menakutkan dan tidak memilih tempat. Teror dengan ledakan bom, bisa terjadi di klub malam seperti terjadi di Bali, di gereja, di mesjid dan bahkan di hotel atau tempat-tempat keramaian lain. Teror dilakukan oleh para pelaku yang memiliki pemahaman agama keliru, dangkal, sangat leksikal, dan tidak kontekstual untuk diterapkan pada zaman modern ini. Pemahaman keliru ini juga disertai dengan imajinasi “Islamic State”, yang menurut keyakinan mereka akan memberikan kesejahteraan yang baik bagi semua rakyatnya. Oleh sebab itu, mereka harus memerangi pemerintahan yang ada, dan mereka sangat yakin bahwa Tuhan akan membantu gerakan mereka. Padahal Tuhan bukan hanya milik mereka, ada milyaran orang yang juga memiliki Tuhan yang bersikap baik. Fenomena kekerasan seksual, konsumsi minuman keras, akses pornografi, merupakan ekses dari lemahnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama, akibat lemahnya pendidikan agama pada mereka, di keluarga dan masyarakat. Pendidikan agama yang diperoleh di sekolah belum menyentuh aspek kejiwaan mereka, sehingga berakhir dengan sebatas perolehan angka dan nilai, belum mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan bertindak. Pendidikan agama formal seperti lewat Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diselenggarakan di sekolah sudah selesai, sesuai target kurikuler yang mereka terima dari kurikulum. Tapi keluarga dan masyarakat belum atau tidak memberikan pengawasan dan pendampingan pada anak-anak tersebut, sehingga mereka melakukan kejahatan kriminal di luar kontrol keluarga dan tokoh-tokoh agama di masyarakat. Dengan demikian kebijakannya adalah memberikan pendidikan agama luar sekolah bagi kelompok tujuan anak-anak remaja, atau mereka tamatan SMA dan/atau SMK yang masih menjadi pengangguran terbuka. Bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah baik SMP, SMA maupun SMK, sebaiknya diberikan layanan pendidikan agama tambahan di sore hari lewat program Pendidikan Diniyah, yang difasilitasi oleh Kementerian Agama sebagai pendidikan non formal. Pemerintah daerah juga bisa berpartisioasi dengan menghimbau para siswa SD, SMP, SMA dan SMK memasuki Pendidikan Diniyah Takmiliyah (PDT) sehingga mereka memiliki bekal pemahaman keislaman yang menghindarkan mereka dari berbagai tindak kejahatan tersebut. Partisipasi PDT di DKI Jakarta untuk tahun 2016 ini masih dalam kisaran 0.1 persen. Begitu juga di berbagai daerah lainnya. Dengan demikian, memang para pelaku kekerasan seksual, pembunuhan, minuman keras dan akses pornografi adalah mereka yang tidak sempat memperoleh pendidikan keagamaan yang memadai di PDT. Berbeda dengan para teroris yang melakukan kejahatan dengan atas nama Tuhan. Mereka memaksa Tuhan meridhai kerja mereka, padahal bertentangan dengan ajaran Tuhan yang disampaikan Muhammad saw. pada para penerusnya. Muhammad memang melakukan aksi-aksi kekerasan ketika beliau dihalang-halangi oleh para penentangnya untuk melakukan ibadah, dihalang-halangi untuk melakukan dakwah dan masyarakat muslim diganggu, diserang dan diganggu. Kondisi yang jauh berbeda dengan situasi Indonesia kini yang membuka kesempatan pada semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Tidak ada yang diancam dan tidak ada kegiatan dakwah yang dihalangi oleh siapapun. Dengan demikian, mereka memiliki kesimpulan yang salah, dan memerangi serta memukuli kesimpulannya yang salah itu, namun menggganggu orang kenyamanan orang lain. Oleh sebab itu, mereka dikutuk oleh umat Islam sedunia, dan Indonesia dipuji oleh dunia, jika mampu mengatasi dan melumpuhkan mereka para teroris. Para teroris berani melakukan aksi bunuh diri karena mereka berkeyakinan bahwa mereka berjihad, padahal perbuatan mereka membunuh orang yang tidak bersalah. Persoalan ini bisa dihadapi dengan dua pendekatan, yakni pendekatan keamanan dan hukum karena perbuatan mereka sudah termasuk kejahatan kriminal. Akan tetapi untuk menghindari jangan sampai terjadi penjangkitan pada anak-anak yang sedang melakukan pencarian kebenaran agama yang dianutnya, harus dilakukan dengan penyuluhan agama pada masyarakat, dan untuk ini pemerintah telah memiliki banyak tenaga fungsional penyuluh bimbingan masyarakat Islam (Pebimas). Provokasi mereka bisa menggoda karena kurangnya informasi kebenaran agama. Oleh sebab itu, baiknya para pebimas Islam bisa menyentuh lapisan sosial ini, sehingga tidak terjangkiti kesalahfahaman agama seperti yang diyakini para teroris tersebut. Para pebimas sebaiknya memberikan penjelasan-penjelasan agama, doktrin dan pemikiran dalam konsep-konsep yang moderat, toleran dan juga pluralistik. Tema-tema Islam ini perlu disampaikan pada target-target sosial tersebut, sehingga pemahaman mereka tentang agama menjadi lebih rasional dan bisa diterima masyarakat luas. |
Guru: Bagaimana Menjadi Profesional
Pengantar Sesuai dengan Undang-Undang No. 17 tahun 2007, bahwa Indonesia memiliki visi untuk menjadi bangsa yang mandiri, maju, adil dan makmur.[1]Visi ini dirumuskan dengan sebuah idealisme bahwa pada tahun 2025 bangsa Indonesia harus sudah bisa menjadi bangsa mandiri yang ditandai dengan semakin rendahnya ketergantungan pada bangsa lain, khususnya dalam pengembangan ekonomi bangsa melalui penguatan sumber daya manusia. Visi ini relevan dengan dengan rumusan kedua yang mengidealkan kemajuan, yakni kemajuan ekonomi yang akan mengandalkan pada kemajuan teknologi hasil temuan kreatif sumber daya manusia Indonesia. Dengan demikian kemajuan bangsa ke dapan sangat mengandalkan pada kekuatan sumber daya manusia dengan skil, ketrampilan, keahlian, kreatifitas dan inovasinya, yag harus dikembangkan lewat proses pendidikan yang merata untuk seluruh anak-anak bangsa, sehingga akan terwujud cita keadilan dan kemamuran yang menyeluruh untuk bangsa Indonesia. Sejalan dengan itu, maka salah satu agenda reformasi adalah perbaikan sektor pendidikan yang ditandai dengan lahirnya tiga undang-undang sekaligus yang berkaitan langsung dengan pengelolaan pendidikan, yakni undang-undang pemerintahan daerah, yang mengotonomisasikan pendidikan pada satuan pendidikan dan dikelola oleh serta menjadi kewenangan bagi pemerintah daerah, kemudian undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan regulasi yang sangat komprehensif, dan terakhir undang-undang tentang guru dan dosen. Pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pengelolaan pendidikan diubah sangat radikal dari sentralistik menjadi sangat demokratis, dan kemudian distandarisasi pada seluruh delapan aspek pendidikan, aspek lulusan, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, pembiayaan, sarana dan prasarana, proses serta penilaian. Khusus untuk pendidik, diperkuata lagi dengan UU No. 14 tahun 2005 yang meregulasi profesionalisme guru dan dosen, karena keduanya merupakan unsur utama pendidikan. Pada akhirnya, visi menjadi bangsa mandiri, maju adil dan makmur akan sangat dipengaruhi oleh sulsesnya reformasi pendidikan, dan baik buruknya proses serta hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh profesionalisme guru dan dosen. Merekalah yang akan menghantarkan anak-anak Indonesia menjadi masyarakat cerdas, kreatif, inovatif, memiliki skil, ketrampilan atau keahlian, dan juga memiliki integritas kuat untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa besar yang dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Kurikulum yang baik, idak akan bermakna apa-apa untuk prestasi akademik siswa dan mahasiswa, jika guru atau dosennya tidak profesional. Gedung sekolah yang baik tidak akan bisa menghantarkan para siswanya menjadi anak-anak cerdas berdaya saing, jika gurunya tidak profesional. kampus yang megah tidak akan mampu melahirkan sarjana cerdas, berdaya saing jika dosennya tidak profesional.
Siapakah Guru? Guru adalah tulang punggung pendidikan, formal maupun non formal. Maju mundurnya Sekolah dan madrasah, sangat tergantung pada profesionalisme para gurunya. Sebaik-baik input calon siswa sekolah/madrasah jika didampingi para guru yang tidak profesional, tidak akan mampu menghantaran mereka menjadi siswa-siswa berprestasi, cerdas dan memiliki daya saing yang kuat. Oleh sebab itu, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah[2]. Pengertian ini membatasi guru dalam dua ranah yang sangat spesifik, yakni bahwa guru adalah guru pada pendidikan formal. Dengan demikian, para pendidik di pendidikan non formal tidak disebut guru. Mereka memiliki sebutan lain yang spesifik, seperti tutor, trainer, atau sebutan-sebutan lain yang lazim di pesantren, pendidikan diniyah dan juga di majelis ta’lim. Kemudian, guru juga hanya digunakan untuk para pendidik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, sementara untuk pendidikan tinggi memiliki sebutan lain yaitu dosen untuk pendidikan tinggi formal, atau sebutan lain untuk pendidikan tinggi non formal. Guru memiliki tugas yang amat besar, yakni mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Tugas pertama yang sangat ditekankan dalam undang-undang adalah mendidik yang dibedakan dari tugas guru mengajar. Mendidik dan mengajar memiliki konsep yang berbeda, kendati tidak bisa distratifikasi bahwa mendidik lebih penting dari pada mengajar atau sebaliknya. Dengan berkembangnya konsep constructivism dalam pembelajaran, memang berubah pula konsep mengajar, karena guru tidak boleh menguasai kelas untuk mentransformasikan ilmu dan pnegetahuannya pada para siswa, karena kalau guru mulai berceramah, harus diyakini bahwa banyak siswa yang masih sedang memikirkan fokus lain di luar pelajaran yang dia sampaikan. Dan apakah siswa sedang membutuhkan apa yang diajarkan guru, dan masih banyak pertanyaan yang pada ujungnya, biarkan siswa mempelajari bahan-bahan ajar yang disediakan, dan guru hanya mengarahkan fokus pelajaran mereka, dan mendampingi para siswanya belajar, lalu mengarahkan agar siswa menyimpulkan sendiri pengetahuan yang mereka pelajari pada hari itu, atau mereka latih bersama teman-teman kelas mereka yang didampingi oleh guru. Dengan demikian, mengajar kini berubah konsep menjadi empat variabel utama, yakni bahwa mengajar adalah pekerjaan intelektual, mengajar adalah pekerjaan yang sangat variatif, mengajar adalah sharing, dan mengajar adalah pengembangan bahan yang terus menantang.[3]Mengajar adalah pekerjaan intelektual, yakni bahwa guru harus terus mengembangkan pengetahuannya dalam bidang ilmu yang menjadi tanggung jawabnya, baik melalui penelitian, penulisan paper, diskusi, seminar dan yang sebangsanya, sehingga tidak tertinggal dari pengetahuan yang bisa diakses oleh para siswanya. Dan mengajar adalah pekerjaan variatif, bukan semata mendampingi, mengawasi para siswanya belajar, tapi juga memvisualisasi teori-teori yang dipelajari, baik di laboratorium mauoun di tempat lainnya, bahkan guru disarankan untuk melakukan membawa siswa ke dalam konteks yang sebenarnya dari pelajaran yang mereka pelajari lewat teknik Contextual Teeching and Learning (CTL), dan bahwa mengajar adalah sharing, yakni siswa harus sharing satu sama lain, dan dalam beberapa keadaan justru guru yang harus sharing pada siswanya, jangan biarkan pula siswa menyimpulkan sendiri tanpa validasi dari guru. Dan terakhir guru harus terus mengembangkan bahan ajar bagi para siswanya agar mereka tidak tertinggal oleh perkembangan sains di dunia, setidaknya bisa mengikuti perkembangan-perkembangan yang ada pada berbagai asesmen atau bahkan perkembangan yang dibutuhkan dunia kerja. Itulah mengajar dalam pengertian sekarang yang sedang lebih benyak berkiblat pada teori constructivism, walaupun dalam beberapa konteks praktik di sekolah/madrasah masih banyak memerlukan model mengajar berbasis teori behaviourism. Sementara itu, tugas guru sebagai pendidik lebih terfokus pada perubahan dan pembentukan karakter baru sesuai dengan yang diidealkan oleh masyarakatnya. Di Indonesia, gagasan besar yang diinginkan masyarakat itu tertuang pada UU No.20 tahun 2003, yang menegaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajardan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[4]Sejalan dengan pengertian tersebut, pendidikan di Indonesia diarahkan pada tujuan yang sangat ideal, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Marusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, danmenjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[5] Memang agak sulit membedakan antara pendidikan dan pengajaran. Oleh sebab itu, ada juga yang mengartikan pendidikan sebagai proses mendidik atau proses mengajar.[6]Akan tetapi, fokus pengembangan pembelajaraan adalah dinamisasi teknik dan metode untuk mendorong para siswa berpartisipasi dalam belajar dan mampu memformulasikan kesimpulan dari proses pembelajaran yang mereka lalui. Kemudian, pembelajaran juga lebih banyak berfokus pada kajian alat, sarana atau media yang perlu dipersiapkan untuk memperkuat pemahaman siswa terhadap bahan-bahan yang mereka pelajari, suasana belajar yang bisa dikembangkan, serta kesiapan kejiwaan para siswa yang akan belajar. Pembelajaran lebih fokus berbicara proses di dalam kelas, di laboratorium atau proses interaksi siswa dengan sumber belajar di luar kelas atas arahan dan bimbingan guru. Pembelajaran banyak digunakan untuk menjelaskan proses pendidikan yang bisa dikontrol oleh guru. Sementara pendidikan lebih banyak memperhatikan proses pembentukan kepribadian yang holistik, baik aspek kekuatan intelektualitas, skil ketrampilan dan keahlian, emosionalitas, spiritualitas dan juga kesehatan fisik. Oleh sebab itu, fokus pendidikan lebih banyak pada kajian cetak biru, pelibatan banyak unsur untuk menjaga proses pembentukan para siswa untuk menjadi warga negara yang cerdas berdaya saing, baik dalam aspek-aspek yang bisa dikontrol guru maupun aspek-aspek kehidupan sosial yang tidak dikontrol oleh guru, dengan tetap mengontrol tindakan-tindakan siswa di dalamnya lewat pelaporan yang dievaluasi oleh guru. Sejalan dengan itu, guru juga harus memberikan bimbingan dan arahan pada para siswanya agar perubahan-perubahan yang distimulasi oleh penambahan pengetahuan di sekolah, tidak terganggu oleh tradisi-tradisi yang sudah berkembang dalam kehidupan sosial atau keluarga yang mungkin kurang atau tidak produktif mendukung perubahan tersebut. Untuk adaptasi siswa dalam kehidupan keluarga dan kehidupan sosial, guru tidak bisa mengawasi langsung para siswanya, tapi mereka tidak bisa lepas tangan terhadap kehidupan siswanya di dua lembaga yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan para siswa, keluarga dan masyarakat. Tugas tersebut meruakan implikasi dari tugas guru sebagai pendidik yang memiliki tugas membimbing serta mengarahkan para siswanya untuk menjadi seseorang sesuai dengan yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Guru tidak sekedar harus memiliki ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam mendampingi siswa belajar, memiliki kecakapan memiliki kecakapan membelajarkan para siswa, tapi juga harus memiliki integritas untuk melayani, mendampingi, membimbing dan mengarahkan para siswanya belajar, di sekolah, keluarga dan juga dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu, pekerjaan guru harus menjadi profesi, yang memerlukan ilmu dan kecakapan hasil pendidikan dan latihan, menjadi kebanggan bagi para guru sendiri, dan memberikan penghasilan yang layak untuk kehidupan keluarga dan sosial mereka. Sejalan dengan semangat reformasi yang memiliki agenda strategis memperbaiki sektor pendidikan, kini guru adalah profesi sebagaimana dokter, pengacara, akuntan, dan profesi-profesi lainnya. Pekerjaan guru hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berpendidikan untuk pekerjaannya itu, dan guru bekerja penuh waktu sebagai andalan dalam hidupnya, dan memiliki kebanggan dengan profesinya sebagai guru. Konsekwensi dari posisi sebagai pekerjaan profesi, untuk menjadi guru, siapapun harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi serta memiliki sertifikat pendidik. Kualifikasi minimal seorang guru, sebagaimana ditegaskan pada pasal 8 dan 9 UU No. 14 tahun 2005, bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kemudian Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.[7]Semua guru pendidikan formal dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai jenjang pendidikan menengah, harus berpendidikan sarjana, atau diploma IV. Bersamaan dengan itu, bahwa setiap guru juga harus memiliki empat kompetensi sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 14 tahun 2005 pasal ke-10, yang berbunyi bahwa guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profes.[8]Guru harus mampu mengajar dengan mengembangkan berbagai teknik agar para siswa aktif belajar, kemudian guru juga harus bangga dengan profesinya sebagai seorang guru, dan mampu meyakinkan orang lain untuk mendukung kemajuan sekelah. Terakhir guru harus menguasai bahan ajar dengan baik, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat, long life learner. Bagaimana Menjadi Profesional? Profesionalisme merupakan keseluruhan antara kemampuan keilmuan teoretik, kemampuan praktis, integritas personal, akseptabilitas sosial, dan bahkan kebanggan terhadap profesi yang ditekuni. Seorang guru tidak akan bisa menjadi guru profesional bila tidak memiliki kemampuan dalam bidang atau cabang ilmu yang menjadi tanggung jawabnya, sebagaimana juga tidak bisa dikatakan guru profesional jika tidak memiliki kemampuan praktus bagaimana mengajar dengan baik, yang membuat para siswa terlibat dalam proses pembelajaran, sennag dalam proses pembelajaran, dan mencapai kemampuan memperoleh pengatahuan baru paling tidak 80% dari target yang ditetapkan oleh sekolah/madrasah. Kemudian, bagaimana mungkin seorang guru itu dikatakan guru profesional jika dia sendiri masih inferior dengan profesinya sebagai guru, bahkan kemudian marasa terhina dengan pekerjaannya sebagai guru. Sebaiknya dia harus bangga dengan pekerjaannya itu. Dengan bekal keyakinan akan posisinya yang sangat penting, seorang guru profesional harus mampu meyakinkan orang lain untuk turut berpartisipasi dalam membina dan mengembangkan pendidikan. masyarakat harus turut memberi masukan-masukan pada lembaga pendidikan, turut mengawasi dan bahkan turut berpartisipasi dalam mengembangkan institusi yang menyiapkan sumber daya manusia ke depan. Tipe ideal guru seperti itu tidak akan lahir secara genetik tanpa proses pembinaan. Cara Stillings Candal dari Pioneer[9]menegaskan “Great teachers aren’t born, great teachers are made.”[10]Guru yang besar tidak dilahirkan tapi diciptakan. Memang kita tidak bisa menghindari fakta sejarah ada Thales, Aristoteles, Plato, dan beberapa ilmuwan besar zaman klasik yang lahir tanpa proses pembelajaran yang didisain secara profesional. Tidak ada guru lulusan perguruan tinggi keguruan, tapi lahir ilmuwan-ilmuwan besar, bahkan di dunia Islam terdapat ilmuwan-ilmuwan besar seperti al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, al-Razi dan bahkan Ibnu Rusyd, yang terlahir tanpa guru-guru tamatan pendidikan keguruan. Memang, fakta tersebut adalah kenyataan eksepsional yang tidak bisa dipungkiri sebagai sebuah warisan sejarah. namun untuk bisa menghantarkan anak-anak bangsa dan sebahagian besar dari mereka bisa sukses, baik dalam bidang maupun di luar bidang yang mereka tekuni, perlu pembinaan dan pengembangan kepribadian yang sistematis, terukur serta dengan menggunakan metode dan teknik yang sudah teruji kehandalannya. Untuk itu, maka setiap seseorang yang mmiliki minat kuat untuk menjadi guru, dan bahkan memiliki bakat yang menonjol, tetap harus melalui proses pendidikan, karena banyak ilmu, ketrampilan dan bahkan kemampuan mengembangkan teknik pembelajaran, yang harus dipelajari mereka agar menjadi guru prfesional. Untuk itu, sesuai statement Cara Stilling Candal, bahwa guru profesional itu dibentuk, tidak dilahirkan. Guru profesional harus dipersiapkan dengan serius melalui proses pendidikan yang sistematis, dan komprehensif, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 tahun 2005, Bab IV pasal 8, bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. kemudian ditegaskan pula pada pasal 9, bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.[11]Pengaturan ini dilakukan dalam rangka memenuhi dua aspek penting penyiapan SDM bangsa ke depan, yakni: Pertama, agar para siswa yang belajar di sekolah tidak dirugikan dengan layanan pembelajaran yang dikelola oleh guru yang tidak menguasai bahan ajar dengan baik, tidak mampu mengembangkan proses pembelajaran yang menarik tapi memintarkan, dan tidak mampu mengukur pencapaian hasil belajar siswa. Kedua, agar proses pendidikan benar-benar berfungsi dengan baik untuk menyiapkan SDM bangsa ke depan, yang menjadi kekuatan utama pemajuan ekonomi, melalui pengembangan sektor industri, jasa atau lainnya, atau bahkan pengembangan eknomi kreatif yang dapat mendongkrak kemampuan ekonomi bangsa, karena tidak ada bangsa maju di dunia yang semata-mata mengandalkan sektor sumber daya alam tanpa didukung oleh kekuatan sumber daya manusia. Dan sumberdaya manusia yang handal adalah mereka yang terdidik baik di sekolah dan perguruan tinggi. Kemudian untuk memperkuat profesionalisme, para calon guru yang telah menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana harus mengikuti pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Pengaturan pendidikan profesi guru tersebut diatur dalam PP No. 74 tahun 2008 tentang guru, karena dibedakan antara pendidikan profesi guru untuk calon guru berlatar belakang pendidikan keguruan dan mereka yang berlatar belakang pendidikan non keguruan. Dan demikian pula dibedakan beban sks nya antara mereka yang akan mengajar di SMP/MTs dengan mereka yang akan mengajar di TK/RA. Contoh beban belajar penddikan profesi bagi para calon guru berlatar belakang pendidikan sarjana atau diploma IV keguruan, yang akan mengajar di TK/RA dan SD/MI dalam kisaran 18-20 sks.. Sementara untuk selain TK/RA dan SD/MI, beban belajar dmenialam pendidikan profesi mereka mencapai 36-40 sks.[12]Dengan demikian durasi pendidikan profesi mereka kurang labih antara satu semester sampai satu tahun. Lebih detail tentang pendidikan profesi diatur dalam PP No. 74 tahun 2008. Bahkan Cara Stilling Candal menyarankan agar guru senantiasa diberi kesempatan untuk menambah pengetahuan, ketrampilan dan pengelaman akademik, baik melalui pendidikan dan pelatihan, workshop, seminar atau bahkan mungkin mengikuti studi lanjut. Cara beragumentasi, bahwa untuk mempertahankan prestasi, sebuah sekolah harus terus meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman akademik para guru muda sebagai kekuatan yang dipunyai sekolah, dengan bimbingan dan pengawasan guru senior yang telah berpengalaman dalam pelaksanaan tugas-tugas profesi mereka sebagai guru.[13]Penjaminan kualitas yang harus dibangun oleh sekolah, setidaknya dengan mempersiapkan guru yang memenuhi kualifikasi, kompetensi, serta integritas mereka dalam profesi keguruannya. Dan bahkan untuk menjaga profesionalismenya, para guru harus senantiasa diberi kesempatan untuk meningkatkan kompetensi keilmuan mereka. Wallahu a’lam bi al-Shawab. Bahan bacaan : [1]Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Lampiran h. 35 [2]Undnag-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat 1. [3]Suzanne M Wilson, Penelope L Peterson, Theories of Learning and Teaching What Do They Mean for Educators, Working Paper, National Education Association, Washington DC 2006, p. 9. [4]Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1. [5]Ibid., pasal 3 [6]Judith Lloyd Yero, The Meaning of Education,dalam Teacher’s Mind Resources: http://www.TeachersMind.com, 2002. [7]Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab IV pasal 8 dan 9 [8]Ibid., pasal 10 [9]Pioneer adalah sebuah organisasi non government, yang focus dal am penelitian-penelitian tentang pendidikan dan dibiayai oleh masyarakat secara sukarela. Salah satu penelitiannya adalah kajian terhadap Massachusetts Charter, yang dilakukan pada tahun 2015. [10]Cara Stillings Candal, Great Teachers are not born, they are made, case study evidence from Massachusetts Charter, Pioneer Institute Public Policy Research, White Paper Number 130, April 2015. [11]Undang-Undang No. 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, bab IV pasal 8 dan 9 [12]Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2008, pasal 6 ayat 2,3 4, dan 5. [13]Cara Stilling Candal, op.cit., h. 23. |
Profesionalisme Bagi Guru dan Dosen
Pengantar Guru dan dosen merupakan pendidik profesional dalam wilayah kerja yang sama, yakni ilmu dan pendidikan. Namun keduanya memiliki fungsi pengembangan ilmu yang berbeda. Bila guru berperan sebagai agen pembelajaran, maka dosen merupakan ilmuwan yang mengajar. Dalam diri guru melekat tugas mengajar dengan kewajiban mengembangkan teknik pembelajaran sehingga para siswa dapat terus belajar dan mengembangkan diri agar menjadi bagian dari masyarakat yang bermoral, religious, memiliki keahlian, berintegritas, dan sehat baik jasmani maupun rohani. Perbedaan guru dan dosen ditetapkan dalam regulasi pendidikan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU ini menegaskan bahwa Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan dosen merupakan pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebar-luaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pengaturan guru dan dosen sebagai tenaga profesional menjadi perhatian serius seluruh pihak di negeri ini. mulai dari ahli pendidikan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan apparat pemerintah sendiri. Perhatian banyak pihak diberikan sebagai bentuk perhatian atas dunia pendidikan di Indonesia yang menjadi tumpuan proses pemajuan bangsa, dengan mengandalkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Strategi perbaikan sektor pendidikan yang tidak dimulai dari aspek sarana dan fasilitas, kurikulum atau metode pembelajaran, tapi justru dari penguatan profesionalisme guru dan dosen merupakan satu hal yang perlu diapresiasi tinggi. Sebab profesionalisme guru dan dosen merupakan pilihan strategis dalam menghantarkan para siswa menjadi manusia Indonesia yang kreatif, inovatif dan mampu sehingga menjadi bangsa besar dengan kekuatan ekonomi yang ditopang oleh ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Masyarakat yang pintar, memiliki skil dan ketrampilan, kreatifitas dan inovasi, akan mudah diserap pasar di mana pun mereka berada. Bahkan, mungkin saja mereka akan menjadi penggerak ekonomi bangsa lewat usaha-usaha kreatifnya. Memang, kini banyak anak bangsa yang menjadi pengusaha, baik skala kecil, menengah atau bahkan mungkin besar, dan banyak pula diantara mereka menjadi birokrat produktif dalam menghasilkan berbagai kebijakan yang mendorong pemajuan bangsa, atau menjadi profesional lain dalam berbagai bidang. Namun belum bisa dibuktikan apakah keberhasilan mereka menjadi orang-orang penting di bidangnya masing-masing merupakan hasil proses pendidikan yang tepat, atau karena faktor genetika, lingkungan atau lainnya. Oleh sebab itulah, secara hipotetik Indonesia sudah tepat memulai perbaikan sektor pendidikan dari peningkatan profesionalisme guru dan dosen. Apa itu Profesional? Istilah profesi lazim digunakan pada sebuah pekerjaan yang dijalankan seseorang dengan memenuhi berbagai kualifikasi yang dibutuhkan dalam memperoleh hasil sesuai standar atau tujuan yang ditetapkan. Pada saat yang sama, profesi juga difahami sebagai pekerjaan yang menjadi harapan ideal seseorang yang dipercaya mengerjakannya. Helen G Hurg[1] dari Rutgers University, New Jersey, menjelaskan bahwa profesi adalah sebuah pekerjaan yang dijalankan seseorang dengan sebelumnya memperoleh pendidikan yang cukup, dan memenuhi seluruh kualifikasi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya itu. Secara lebih detail Hurd menjelaskan, bahwa pekerjaan yang bisa menjadi sebuah profesi, dan pekerjanya adalah profesional harus memenuhi beberapa ciri, yakni:
Berangkat dari berbagai batasan di atas, maka seorang pekerja profesional dalam bidang apapun, termasuk di pekerjaan pendidik baik sebagai guru maupun dosen, harus memiliki kriteria-kriteria di atas. Artinya, selain harus berpendidikan sesuai dengan pekerjaannya dan keahliannya diakui dari instansi terkait, seorang professional juga harus melakukan pekerjaannya secara total dan tidak berfikir beralih pada profesi lain, memiliki penghasilan yang memadai dan dihargai oleh profesi lain. Selain itu, ia juga harus memiliki organisasi profesi yang meregulasi profesinya, mengontrol kualitas pekerjaan profesinya, dan seluruh anggota organisasi profesi loyal pada organisasinya, karena organisasi tersebut adalah rumahnya sendiri dan organisasinya itulah yang melindungi pelaksanaan pekerjaan profesinya, dan mengembangkan kualitas profesionalitas mereka. Kendati demikian, tidak semua pekerjaan menagih profesionalitas. Ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bisa dikerjakan semua orang, dengan atau tanpa pendidikan khusus. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan tertentu, seperti layanan jasa kedokteran, harus dikerjakan oleh profesional yang memang dididik untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter. Demikian pula layanan keperawatan, apoteker, akuntansi, jasa pengacara, termasuk guru dan dosen. Pekerjaan menjadi guru adalah profesi, mereka yang tidak memperoleh pendidikan untuk menjadi guru tidak bisa melakukan tugas keguruan, karena bisa salah perlakuan dalam mengajar para siswanya. Oleh sebab itu, syarat-syarat yang dituntut untuk mengerjakan pekerjaan profesi harus dipenuhi oleh siapapun yang memiliki minat dan keinginan menjadi guru. Konsep profesionalitas yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Linda Evans. Menurut peneliti dari Leeds University ini, profesionalitas itu sudah harus menjadi sebuah ideologi, sikap, tindakan, intelektualitas, dan secara epistimologis berbasis pada pendirian individu saat harus melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.[2] Dengan demikian, maka profesionalitas atau bisa juga disebut sebagai sebuah profesionalisme adalaj jika tingkat komitmen pekerjaan, keyakinan akan profesi, dan keteguhan untuk memajukan profesinya itu sudah menjadi sebuah keyakinan hidup bagi semua anggota organisasi profesi. Jika sudah menjadi sebuah keyakinan, maka profesionalisme itu akan menjadi sebuah budaya, karena tidak sekedar tahu tentang sebuah kewajiban, dan tidak sekedar tahu tentang kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap pekerja profesional, tapi semua kualifikasi tersebut sudah menjadi budaya, dan bahkan dalam kenyataan terlihat jauh lebih baik. Dengan demikian, sebuah pekerjaan menjadi pekerjaan profesi jika hanya bisa dikerjakan oleh orang yang terdidik dengan baik untuk pekerjaan yang dikerjakannya. Arsitek adalah profesi, karena hanya mereka yang terdidik dengan baik dalam ilmu arsitektur yang dapat menjadi seorang arsitek. Demikian pula dengan insinyur yang memiliki keahlian membangun gedung atau bendungan yang harus dipelajari dengan baik, sehingga bisa membangun infra struktur fisik tersebut dengan kekuatan yang terukur. Untuk menjadi profesional dalam bidang teknik tersebut perlu pendidikan serius, sehingga memperoleh lisensi untuk bekerja dalam bidangnya, setidaknya dari lembaga pendidikan yang melahirkannya, atau dari asosiasi profesi yang mewadahinya. Demikian pula dengan guru dan dosen, untuk menjadi pendidik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta pendidik di perguruan tinggi, memerlukan proses pendidikan yang baik, dan memperoleh sertifikat pendidik dari institusi yang berkewenangan. Kemudian, pekerjaan profesi juga memberikan penghasilan yang memadai, mencukupi, dan bahkan membanggakan sehingga tidak disepelekan oleh profesi lain. Profesi akuntan, tidak boleh disepelekan oleh profesi pengacara, hanya karena rata-rata penghasilannya lebih kecil. Demikian pula jangan sampai profesi dokter disepelekan oleh profesi akuntan, hanya karena penghasilan akuntan lebih kecil daripada dokter. dan jangan sampai profesi guru disepelekan oleh akuntan atau dokter hanya karena penghasilan guru lebih kecil daripada akuntan atau dokter. Oleh sebab itu, ketika guru menjadi pekerjaan profesi, guru harus meningkatkan kompetensi untuk berdedikasi penuh dengan ilmunya terhadap profesi yang menjadi kebanggaannya, dan pada saat yang sama, pemerintah atau yayasan pengelola pendidikan harus meningkatkan gaji dan tunjangan guru tersebut, sehingga tidak disepelekan oleh akuntan publik dan oleh dokter, hanya karena penghasilan guru di bawah penghasilan mereka. Tidak cukup hanya dengan sebuah pelatihan, keahlian, penghasilan yang memadai, respect dan apresiasi terhadap profesi lain, ketika sebuah pekerjaan sudah menjadi sebuah profesi dan pekerjanya menjadi profesional, seorang profesional juga harus berintegritas, dan menurut Michael Davis dalam tulisannya “Professionalism means putting your profession first”, seseorang harus mendahulukan profesinya dari apapun juga.[3] Dicontohkan Davis, andai anda sudah memegang tiket untuk makan siang di sebuah restauran, tapi klien anda memerlukan waktu anda untuk berkonsultasi atau berkomunikasi, dia harus menunda makan siangnya dan mendahulukan kliennya. Jika seorang dokter sudah siap-siap untuk berlibur dengan keluarga, tapi tiba-tiba pasiennya memerlukan pertolongan, dia harus mendahulukan menolong pasien dibanding berlibur bersama keluarga. Demikian pula dengan seorang guru atau dosen yang sudah bersiap untuk bertamasya bersama keluarganya, harus menunda perjalanannya, jika ada siswa atau mahasiswa yang membutuhkan waktu untuk berkonsultasi, mengenai pelajaran, pekerjaan tugas, skripsi atau karya ilmiah lainnya. Oleh sebab itu, Davis lebih lanjut menegaskan ada dua aspek makna[4] profesi bagi seseorang professional yang menjadikan profesinya sebagai sebuah profesionalisme, yakni bahwa pengakuan profesionalisme adalah pengakuan moral, bukan saja skilldan keahlian, tapi justru integritas terhadap profesinya menjadi lebih penting dari segalanya. Melaksanakan kewajiban profesi menjadi lebih penting dari segala apapun. Tidak bisa seorang guru atau dosen profesional menunda mengajar hanya karena cuaca hujan, transportasi macet, atau karena alasan apapun di luar profesinya. Tugas seorang guru adalah mengajar, membimbing, mengevaluasi, melakukan mentoring dan semua tugas-tugas akademik untuk menghantarkan para siswanya mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh mereka sendiri, keluarga masyarakat dan bahkan negara. Demikian pula dengan dosen, yang bukan saja sebagai pengajar tapi juga ilmuwan yang bertugas melakukan penelitian, menemukan teori baru, teknologi baru dan bahkan instrumen-insrumen baru yang bisa digunakan oleh para pemangku kepentingan, industri, perdagangan, atau bahkan layanan jasa di kantor-kantor layanan publik. Kemudian yang kedua adalah keanggotaan dalam organisasi profesi yang dapat memberikan jaminan kehadiran layanan profesinya pada klien mereka, serta untuk menjaga konsistensi dan meningkatkan kualitas layanan pada klien. Oleh sebab itu, setiap profesi harus memiliki organisasi dan para anggotanya memiliki ikatan kuat dengan organisasinya untuk beberapa fungsi primernya, yakni meregulasi organisasi profesinya agar mampu menjaga konsistensi layanan, kepercayaan klien, dan juga meningkatkan kualitas layanan pada mereka. Tugas organisasi profesi adalah melakukan penelitian dan pengembangan, konferensi untuk menyebarluaskan dan memvalidasi hasil seminar pada seluruh anggota organisasi, dan melakukan workshopserta pelatihan agar semua temuan baru tentang layanan organisasi pada para klien tersampaikan pada seluruh anggota organisasi. Dan bahkan untuk fungsi terakhir, organisasi juga diperlukan untuk memberikan perlindungan pada seluruh anggota organisasi dalam pelaksanaan tugas mereka, dan memberikan advokasi jika salah satu atau sekelompok anggota organisasi teraniaya dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Pada akhirnya, professionalisme sangat memerlukan penghargaan tinggi terhadap etika yang harus dimulai dari dalam diri masing-masing pekerja profesi. Jika seorang profesional, pada kasus yang paling simpel masih mendahulukan bisnis lain daripada profesinya, hanya karena persoalan keuntungan material, maka etika profesinya terganggu. Kemudian pada konteks yang lebih besar sebagaimana ditegaskan oleh Guido Bertucci dari Dvisi Ekonomi di PBB,[5]bahwa tragedi terbesar pengkhianatan terhadap profesi di abad ini adalah “Financial Abuse and unprofessional behaviour in the field of professionalism.” Tidak sedikit orang lebih mendahulukan perolehan uang demi kekayaan pribadi dan keluarganya, daripada layanan profesinya, dengan merusak infrastruktur sistem akuntabilitas manajemen layanan. Dengan demikian, pada akhirnya, integritas etik menjadi bagian yang sangat penting dalam menjaga impelementasi pekerjaan profesi untuk mempertahankan sikap dan atribut profesionalisme sebuah pekerjaan profesional. Menjadi guru dan dosen adalah pekerjaan profesi, dan pemerintah telah menunjukkan tanggung jawabnya yang sangat baik dengan menjaga martabat profesi tersebut lewat sertifikasi dan tunjangan profesi. Oleh sebab itu, setiap kita yang sudah memasuki profesi ini, perlu terus membina kualitas layanan yang diberikan pada para siswa dan mahasiswa sebagai klien, baik dalam aspek kompetensi keilmuan, kompetensi pedagogik, kompetensi pengembangan ilmu, kemudian mampu menjaga konsistensi layanan akademik pada para siswa dan mahasiswa, dan memberikan layanan sepenuh hati, tidak menjadikan dedikasi profesonalitasnya sebagai lahan untuk memenuhi hasrat pribadi dan keluarga belaka. Terakhir, tentu saja peran organisasi profesi juga perlu diperkuat sehingga dapat mengembangkan profesi, menjaga regulasi guna menjamin konsistensi dan kualitas layanan pada klien, menjadi vocal point bagi kelompok profesi, serta memberi advokasi terhadap berbagai kendala yang dihadapi seluruh anggota profesi dalam menjalankan tugas profesionalitasnya. Wallau a’lam bi al-shawab Daftar Bacaan Betrucci,Guido,Professionalism and Ethicsim the Public Service:Issues and Practices in Selected Regions, United Nations Department of Economic and Social Affairs Division for Public Economics and Public Administration, United Nation, 2000. Hurd, Helen G, Who is a Professional, Journal of Cooperative Extension, Rutgers the State University, New Jersey, 1967. Evans, Linda,Professionalism, professionality and the development of education professionals. British Journal of Educational Studies, 56 (1). tun 2008. Michael Davis, Professionalism Means Putting Your Profession First, dalam The Georgetown Journal of Legal Ethics, Vol II NO. 1, Summer 1988. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen [1]Helen G Hurd, Who is a Professional,Journal of Cooperative Extension, Rutgers the State University, New Jersey, 1967, p.78. [2]Linda Evans, Professionalism, professionality and the development of education professionals. British Journal of Educational Studies, 56 (1). tun 2008, pp. 20-38. [3]Michael Davis, Professionalism Means Putting Your Profession First dalam The Georgetown Journal of Legal Ethics, Vol II NO. 1, Summer 1988, p.342. [4]Ibid., p. 343 [5]Guido Betrucci, Professionalism and Ethics in the Public Service: Issues and Practices in Selected Regions,United Nations Department of Economic and Social Affairs Division for Public Economics and Public Administration, United Nation, 2000, p. 5. |
Merangkai Sinergi, Membangun Masyarakat
Kamis 31 Maret lalu, penulis dan Airin Rachmi Diany, SH, MH., Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) menandatangi kesepakatan kerjasama. MoU dilakukan dalam rangka mensinergikan program-program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa, dengan program pembangunan kota Tangerang Selatan. Kota yang baru lahir tahun 2008 yang lalu, kini telah berusia menjelang genap delapan (8) tahun, terbilang sudah sangat dinamis dengan visi misi yang sangat realistis menuju masyarakat maju, mandiri, dinamis, dan sejahtera, didukung dengan kekuatan akhlak mulia. Ukuran kemajuan sebuah masyarakat diukur dari kemampuan ekonominya, yakni pendapatan rata-rata penduduk yang akan mempengaruhi kemampuan daya beli. Kemampuan daya beli mempengaruhi konsumsi nutrisi pada setiap anggota masyarakat, dan pada saat yang sama akan mempengaruhi derajat kesehatan rata-rata masyarakat. Itulah strategisnya perumusan visi dari pasangan walikota petahana yang baru saja terpilih kembali pada pilkada 2015 lalu. Ditambah pula, dengan variabel lain yakni kesejahteraan, yang diukur dengan pemerataan pendapatan pada seluruh anggota masyarakat. Pemerintah Kota (Pemkot) pasti tidak memiliki daya untuk membagi-bagikan uang, bahan pangan, dan berbagai kebutuhan sembako pada masyarakat, tapi pemerintah kota berusaha agar seluruh warga masyarakat menjadi produktif, self standing, dan menjadi orang-orang kreatif serta inovatif, bahkan kini kota Tangerang Selatan bertekad untuk menjadi kota inovasi, yakni mendorong masyarakatnya untuk kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produktifitas diri. Tangerang Selatan kini bertekad untuk mengandalkan kecerdasan guna membangun ekonomi daerahnya, bukan lagi mengandalkan bahan sumberdaya alam yang kian tidak bisa diandalkan oleh masyarakat dan pemerintahnya, karena banyak lahan yang harus dikonversi ke pemukiman rakyat, sebagai konsekwensi daerah penyangga ibukota. Dalam konteks pengembangan program berbasis visi dan misi yang sangat dinamis tersebut, Tangerang Selatan memiliki potensi dukungan yang luar biasa dengan adanya beberapa universitas besar di Provinsi Banten. Salah satunya UIN Syarif Hidayatullah. Sejak konversi menjadi Universitas, UIN Syarif Hidayatullah memiliki beberapa program studi yang relevan dengan pembangunan kota yang akan mengandalkan pada kekuatan sumberdaya manusia, seperti Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Kedokteran, dan Ilmu Kesehatan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Selain juga beberapa fakultas Agama Islam yang sudah eksis sejak tahun 1957 dan 1960, bahkan sejak tahun 1970 sudah mengembangkan program Magister dan Program Doktor. Kini UIN Syarif Hidyatullah sudah sangat kuat, baik pogram studi, dosen maupun mahasiswanya. Saat ini, UIN Syarif Hidayatullah memiliki tenaga pengajar bergelar Doktor tidak kurang dari 300 orang dalam berbagai bidang dan cabang ilmu, dan selebihnya adalah Magister dengan jumlah seluruh tenaga akademis mencapai 847 orang. Ini potensi yang sangat luar biasa jika disinergikan, apalagi kini UIN Syarif Hidayatullah sedang mulai menapaki jalan menuju Universitas Riset, dan direncanakan ada 500 unit penelitian. Andai 25 saja penelitian UIN setiap tahun didedikasikan untuk kepentingan pembangunan Tangerang Selatan, dengan penemuan-penemuan teknologi baru, instrumen baru, atau mungkin hanya teori baru, untuk berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan, maka akan sangat bermanfaat bagi proses pembangunan Tangerang Selatan menuju kota yang maju, mandiri, dinamis, dan sejahtera berakhlak mulia. Jangan sampai universitas ini hanya sibuk memberikan layanan pembelajaran kepada para mahasiswanya yang datang dari berbagai pelosok daerah di Indonesia, tapi kurang berpartisipasi untuk menemukan hal-hal baru dalam ilmu dan teknologi, apalagi kurang memberi manfaat bagi masyarakat di daerahnya sendiri. Tidak hanya itu, sesuai Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012, pasal 47 ayat 1 dan 2, yang menegaskan bahwa Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan Sivitas Akademika dalam mengamalkan dan membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengabdian kepada Masyarakat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik, keahlian, dan/atau otonomi keilmuan Sivitas Akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat. Salah satu yang menjadi fokus dari regulasi ini adalah, bahwa perguruan tinggi tidak boleh menjadi menara gading di tengah masyarakatnya, tapi harus terlibat langsung melalui dua tugas pokok dan fungsinya penelitian dan pengabdian pada masyarakat, untuk bersama-sama pemerintah daerah mendorong, mendampingi, dan membawa masyarakat untuk bisa berubah menuju cita sebagai masyarakat maju, mandiri, dan sejahtera, melalui peningkatan dinamika masyarakat agar terarah dan lebih produktif menuju idealitas visinya. Pengabdian kepada masyarakat (community outreach) adalah kewajiban dosen untuk mengaktualisasikan ilmunya dalam kehidupan bermasyarakat dengan memberi penjelasan pada mereka, memberi pendampingan, dan membawa mereka untukmove on, sehingga bisa melakukan perubahan (changing). Seorang dosen ilmu pendidikan di Fakultas Tarbiyah, misalnya, belum cukup melaksanakan tugasnya jika hanya mengajar di program studinya sebanyak 12 SKS, sebelum dia melakukan komunikasi dengan sekolah atau madrasah, mengidentifikasi masalah, lalu menyusun formulasi program untuk mendorong kemajuan sekolah tersebut berdasarkan teori-teori yang sudah ada, mengkomunikasikan teori-teori tersebut dengan instrumen dan teknologi yang dikembangkan untuk implementasi teori tersebut, lalu mendampingi mereka bersama para asisten dan para mahasiswanya, sehingga sekolah itu beubah, bergerak maju, dan memberikan layanan terbaik bagi para siswanya untuk menjadi masyarakat cerdas berdaya saing. Demikian pula dengan para dosen dari berbagai keilmuan lain, yang dapat mendampingi kelompok masyarakat yang berbeda keahlian dan profesinya untuk menjadi masyarakat maju, mandiri, dan sejahtera. Dosen dari fakultas Ekonomi diharapkan bisa mendorong, mendampingi, dan membawa masyarakat pelaku usaha agar lebih maju, meningkat omzet usahanya, meningkat pula margin usahanya, dan akan meningkat pula kesejahteraannya. Idealnya, para dosen memformulasikan solusi jawaban terhadap masalah yang ada di masyarakat melalui penelitiannya sendiri, sehingga menemukan teori baru, instrumen baru, atau teknologi baru yang dia kembangkan, kemudian dia implementasikan di masyarakat. Setelah terbukti bahwa teori, instrument, dan teknologinya itu benar sesuai hipotesisnya mampu membawa perubahan pada kehidupan sosial, bisa diajarkan pada para mahasiswa, dan dibawa kembali pada masyarakat lewat programcommunity outreach atau pengabdian pada masyarakat, bersama dengan para asisten dan para mahasiswanya. Itulah siklus kehidupan akademik para dosen sebagai ilmuwan yang mengajar, karena dosen tidak sama dengan guru sebagai agen pembelajaran. Dosen adalah ilmuwan yang mengajar. Sesuai posisinya sebagai ilmuwan yang memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan ilmu, teori, dan teknologi, mengevaluasi ilmu dan yang paling ideal bisa memformulasikan teori baru, instrumen baru atau teknologi baru sebagai wujud tanggung jawab dosen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Teori baru, instrumen baru, dan teknologi baru itu harus segera diajukan pada Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) guna memperoleh hak paten. Sebuah negara maju akan dihargai oleh negara-negara maju lain di dunia bergantung pada indeks hak paten yang diperolehnya, karena besar kecilnya paten yang diperoleh menunjukan inovasi bangsa tersebut, yang sentralnya ada di perguruan tinggi. Untuk inilah, MoU antara pimpinan UIN Syarif Hidayatullah dengan pemerintah kota Tangerang Selatan dilakukan, dimana Pemkot Tangsel membuka diri untuk UIN Syarif Hidayatullah melakukan penelitian dalam berbagai aspek disiplin ilmu yang ada di UIN dan sesuai dengan kehidupan sosial yang ada di Tangsel, dengan harapan hasil-hasil penelitian tersebut akan menghasilkan ilmu, instrument, dan teknologi yang akan membawa perubahan masyarakat Tangsel menuju masyarakat maju, mandiri, dan sejahtera, melalui dinamika yang didorong oleh proram-program pembangunan pemerintahan kota Tangsel, didampingi oleh para ilmuwan dari UIN Syarif Hidayatullah. Demikian pula dengan UIN yang sedang melakukan step up menuju Research University, dan mendorong para dosennya untuk menjalankan fungsi-fungsinya sebagai ilmuwan, yakni mendiseminasikan teori, mengembangkan teori, atau bahkan menemukan teori baru, instrumen baru, dan teknologi baru. Kerjasama dengan Pemkot Tangsel, merupakan kesempatan yang sangat menantang, karena masyarakat yang berada di daerah penyangga ibukota ini sangat dinamis. Perubahan dari masyarakat desa yang agraris, bercorak gemeinschaft atau paguyuban yang memiliki hubungan personal yang sangat kuat, menjadi masyarakatGesselschaft atau patembayan yang kehidupan anggotanya berubah menjadi masyarakat jasa, mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, serta memperhitungkan untung rugi. Perubahan-perubahan budaya ini, menuntut perubahan pola kehidupan sosial ekonomi dan keagamaan. Perubahan dari paguyuban pada patembayan menuntut perubahan pada frame of thinking dalam semua aspek kehidupan sosial, terutama dalam aspek ekonomi yang semua dipaksa untuk bergerak dalam sektor jasa. Pengembangan sektor ini memerlukan knowledge,skill, dan jiwa entrepreneurship yang kuat, serta memerlukan pelatihan. Untuk itulah, Universitas dalam konteks ini UIN harus hadir, keterbatasan aparat pemerintah, seringkali tidak mampu menjangkau masyarakat di lapisan bawah. Oleh sebab itu, UIN bekerjasama dengan Pemkot Tangsel pada basis kelurahan, dan akan bekerja di sekitar 54 kelurahan yang ada di Tangsel. Berbagai program nyata yang akan dilakukan pada tahun 2016 ini antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, Melakukan penelitian dalam bidang sains dan teknologi yang akan dipelopori oleh para dosen dari Fakultas sains dan Teknologi dengan program studi yang akan berada di barusan paling depan adalah, Kimia, Biologi, dan Agribisnis. Kemudian, diikuti dengan dosen-dosen dari program studi Manajemen, Kesehatan Masyarakat, dan juga dari semua program studi yang ada di Fakultas Tarbiyah, Fakultas Dakwah, Fakultas Ushuluddin, dan fakultas-fakultas keagamaan lainnya. Kedua, Melakukan pendampingan yang akan dilakukan oleh para dosen bersama para asistennya, serta para mahasiswa, setelah menemukan fokus pengabdian yang sangat urgent dan prioritas relevan dengan visi kota Tangsel menuju masyarakat maju, mandiri, dan sejahtera melalui dinamisasi masyarakat, berbasis akhlak mulia. Pendampingan bisa dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pengunaan teori, instrument, dan teknologi yang sudah ada dan telah tervalidasi di berbagai negara, atau melalui teori, instrument, dan teknologi yang ditemukan para dosen sendiri melalui penelitian mereka. Untuk pendekatan kedua ini, program Community Outreach (CO) harus diawali dengan penelitian. Ketiga, Pendampingan yang dilakukan oleh para dosen akan menyentuh aspek-aspek general transferable skill dan/atau specific skill, yang kedua-duanya bersertifikat. Khusus untuk specific skill, UIN akan mencoba mengusahakan kerjasama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), sehingga sertifikat tersebut memperoleh validasi yang kuat untuk memasuki pasar kerja. Keempat, Pendampingan keagamaan akan dilakukan secara lebih fungsional, bukan agama sebagai benteng perlawanan terhadap serangan-serangan new culture, tapi agama yang bisa beradaptasi terhadap berbagai perubahan, dengan tidak merusak norma-norma dasar keagamaan. Dan bahkan yang lebih penting, bagaimana agama menjadi kekuatan dalam meningkatkan dinamisasi masyarakat, sehingga terjauhkan dari keputusasaan, memperkuat motivasi untuk berubah, dan selalu meyakini bahwa semua manusia selalu didampingi Tuhan dalam segala usaha hidupnya, sehingga kalau belum berhasil, akan selalu berkomunikasi dengan Yang Maha Segalanya. Kelima, Pendampingan yang dilakukan dosen adalah kewajiban mereka sebagai ilmuwan. Bahkan untuk menuju research university, dosen tidak diperkenankan untuk menghabiskan waktunya untuk mengajar, tapi harus memiliki cukup waktu untuk meng-update ilmunya melalui penelitian, baik untuk pengembangan ilmu atau memperbaharui teori dari ilmu yang diajarkannya. Untuk itu, dosen diwajibkan untuk melakukan penelitian yang di dalamnya ada pengabdian pada masyarakat, dan bahkan selanjutnya, temuan mereka akan dijadikan referensi utama dalam program pengabdian pada masyarakat. Oleh sebab itu, direkomendasikan pada para dosen, agar banyak menggunakan action research, atau bahkan mungkin melalui Community Based Research, dalam proses peneltian yang mereka lakukan. Wallau a’lam bi al shawab |
Community Based Research CBR) Salah Satu Model Penelitian Akademik
PENGANTAR Penelitian merupakan tugas akademik yang tidak pernah lepas dari setiap dosen sebagai seorang ilmuwan. Di samping tugasnya untuk mengajar, setiap dosen memiliki ugas untuk mengembangkan ilmu dan teknologi melalui kegiatan penelitian. Dijelaskan dalam Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen yang dikeluarkan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa tugas seorang dosen dalam ranah penelitian dan pengembangan karya ilmiah meliputi: (1) Menghasilkan karya ilmiah; (2) Menerjemahkan/menyadur buku ilmiah; (3) Mengedit/menyunting karya ilmiah; (4) Membuat rencana dan karya teknologi yang dipatenkan; dan (5) Membuat rancangan dan karya teknologi, rancangan dan karya seni monumental/seni pertunjukan/karya sastra[1]. Apalagi untuk seorang profesor yang merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi seorang akademisi, di samping kewajiban melaksanakan Beban Kerja Dosen (BKD) sebagaimana dikenakan pada seluruh dosen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 78 Tahun 2013, seorang profesor memiliki tugas tambahan meliputi: (1) menulis buku yang diterbitkan oleh lembaga penerbit baik nasional maupun internasional yang mempunyai ISBN (Internasional Standard of Book Numbering System) (2) menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi; dan (3) menyebarluaskan gagasannya[2]. Penelitian adalah tugas melekat pada setiap dosen, dan merupakan kewajiban periodik yang mutlak bagi seorang profesor. Jika dalam satu periode lima (5) tahun, tidak menghasilkan satu buku ber ISBN dan tidak ada hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, maka tunjangan kehormatan profesornya akan dihentikan sementara, sampai kewajibannya terpenuhi. Salah satu model penelitian yang kini sedang banyak dikembangkan untuk basis keilmuan humaniora dan sosial sebagaimana yang dimiliki UIN Syarif Hidayatullah jakarta, di samping sains dan teknologinya, Merujuk kutipan-kutipan di atas, maka setiap dosen wajib melakukan penelitian, hanya saja untuk dosen yang belum memiliki jabatan fungsional guru besar, penelitian tersebut bisa diganti dengan karya ilmiah lain. Akan tetapi, untuk sebuah universitas yang sedang menuju posisi sebagai research university yang diidealkan oleh banyak pengelola perguruan tinggi di dunia, penelitian merupakan kewajiban seluruh dosen dan tidak bisa diganti dengan karya ilmiah lain. oleh sebab itu, tahun 2016 ini, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta mengalokasikan budget untuk 500 orang dosen dengan perimbangan proporsional antara penelitian keagamaan maupun penelitian sains dan pengembangan teknologi, dengan misi integrasi sains pada agama. COMMUNITY BASED RESEARCH (CBR) Tradisi penelitian di kalangan sarajana ilmu agama Islam sudah sangat kuat, hanya saja keunggulan penelitian mereka seringkali kurang bisa diadaptasikan pada kehidupan sosial, karena kajian-kajian tokoh intelektual klasik, kajian pemikiran, falsafat dan sejarah, seringkali menghasilkan teori-teori yang terdistansiasi dengan kehiduan sosial. Padahal, hakikatnya semua ajaran dan pemikiran keagamaan diturunkan Allah, dan dijelaskan oleh Rasulullah untuk melakukan perubahan-perubahan sosial, baik dalam aspek hukum, etika, maupun dalam kontek perubahan etos yang mendorong masyarakat untuk berubah. Oleh sebab itu, penelitian dalam disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seyogiayanya mulai difikirkan untuk dibawa ke dalam kajian-kajian yang lebih aksiologis, sehingga bisa diimplementasikan oleh masyarakat, atau justru oleh pemerintah yang memiliki kewenangan secara struktural mendorong, membimbing dan mengarahkan masyarakat untuk berubah. Bersamaan dengan itu, UIN juga mengelola berbagai keilmuan yang memberikan penguatan pada general tranferable skill yang dalam sejarahnya sangat lekat dengan kehidupan sosial, dan sangat berperan penting dalam proses perubahan sosial, seperti ilmu ekonomi, kesehatan masyarakat, serta ilmu da’wah, dan bahkan berbagai keahlian profesional dengan specific skill seperti akuntansi, farmasi, kedokteran dan juga keperawatan. Bersamaan dengan itu, misi pembelajaran UIN dalam ilmu-ilmu general skill dan specific skill tersebut adalah mempelajari agama dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga aksiologi dari semua ketrampilan dan keahlian tersebut senantiasa menyertakan kekuatan theistik dan senantiasa memiliki orientasi eskatologis, yang keduanya akan selalu menjadi kekuatan kontrol untuk peningkatan prestasi, melalui kreatifitas dan inovasi serta kekuatan kontrol untuk senantiasa menjaga akuntabilitas kebenaran agama. Grand disain transformasi menjadi UIN dengan kulturalisasi ilmu-ilmu agama, dan penguatan spirit agama pada implementasi sains dan teknologi, pada dua level epistimologi dan aksiologi, akan menjadi sebuah pilihan baru yang sangat menarik, karena akan menghasilkan perubahan sosial yang diwarnai oleh kekuatan agama. Peran pendidikan tinggi sebagai agent of social changeakan dapat diperankan dengan baik oleh UIN yang tidak saja membawa perubahan tapi justru menghasilkan instrumen, dan teknologi untuk membawa perubahan tersebut. Penemuan model baru, instrumen baru, atau teknologi baru, yang sekaligus membawa perubahan sosial hanya bisa dilakukan dengan penelitian yang mampu menyatukan keduanya, yang kini sudah sangat populer di dunia akademik dengan Community Based Reasearch (CBR), atau penelitian berbasis masyarakat. Community Based Research (CBR) sebagaimana dikemukakan oleh Sarah Banks dari Center for Social Justice and Community Action, Durham University, adalah, penelitian yang dilakukan atas sebuah komitmen dari masyarakat untuk memberikan dukungan kekuatan, sumber daya, dan juga keterlibatan dalam proses penelitian dalam rangka menghasilkan produk penelitian yang bermanfaat bagi mereka, dan juga para peneliti yang terlibat dalam proses penelitian tersebut[3]. Inisiatif penelitian bisa juga datang dari para ilmuwan atau peneliti setelah melihat permasalahan dan potensi yang ada dalam masyarakat, untuk memberi solusi rumusan teknis instrumentatif penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, baik disadari atau tidak oleh mereka, sehingga mereka terbawa dalam arus perubahan dan kemajuan. Ada beberapa argumentasi kenapa CBR menjadi sangat penting, bagi para akademisi khusususnya dalam berbagai keilmuan yang erat kaitannya dengan berbagai upaya melakukan perubahan fenomena sosial dengan mengubah cara pandang masyarakat tentang kehidupan mereka. Beberapa alasan sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut[4].
Community Based Reseacrh (CBR) bukan sebuah metode, bukan pula sebuah pendekatan yang akan menentukan berbagai teknik pengumpulan dan analisis data, tapi, sebuah model penelitian yang menjadikan target komunitas sosial sebagai bagian aktif dalam proses penelitian, dalam rangka meningkatkan efektifitas proses pengumpulan dan analisis data untuk menghasilkan sebuah rekomendasi yang benar-benar bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan sosial mereka. Sementara model penelitiannya sendiri lebih mendekati model action research, yakni penelitian pengembangan model yang dilakukan dengan ujicoba yang dinamis dan cyclical[5], yakni terus dievaluasi dan diredisain untuk memperoleh model yang paling baik dan sesuai dengan kebutuhan. Kemudian Action Reseach itu biasanya dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan mitranya dari kelompok sosial yang dijadikan sebagai target group dalam penelitian. Dengan demikian, basis penelitian CBR adalah kualitatif, karena akan selalu berkorespondensi antara disain dengan kebutuhan sosial, hanya saja proses akademik dalam CBR tidak mencari makna dari fenomena, dan juga tidak melakukan interpretasi terhadap makna fenomena, tapi justru merumuskan disain sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat, berdasarkan hasil ujicoba mereka sendiri dalam kehidupan nyata. Kendati demikian, dalam proses kerja CBR tidak dipungkiri kebutuhan peneliti untuk mengolah data angka atau hasil kuantifikasi yang akan diolah secara kuantitatif, tapi bukan sebagai alat ukur pengujian hipotesis, posisi data dan hasil analisis kuantitatif lebih bersifat pendukung terhadap proses pengujian model yang akan dihasilkan dari action research dalam CBR tersebut, atau sekedar informasi partsipant dalam penelitian, atau data lainnya yang perlu dieskpose dalam bentuk angka-angka. Analisis terhadap data tersebut sudah pasti menggunakan prosedur analisis kuantitatif, tapi tidak sedang menguji sebuah hipotesis, yang lazim dalam penelitian kuantitatif yang koheren dan rigid dalam disainnya. Sebaliknya CBR sangat korespendensif dengan perubahan gejala-gejalan sosial, memiliki disain penelitian yang sangat dinamis, terus dilakukan perbaikan secara cyclical, mengikuti perkembangan perubahan pandangan, prilaku dan bahkan keinginan dari masyarakat yang menjadi subyek dalam penelitian. Penelitian CBR pada akhirnya, sangat mungkin dirancang dalam bentuk mix method atau metode campuran, dengan disain utama kualitatif, hanya saja CBR tidak mengikuti secara utuh prosedur kualitatif yang membutuhkan proses pemaknaan, interpretasi dan perumusan hipotesis kerja. Penelitian CBR justru diawali dengan perumusan model intervensi atau perlakuan terhadap komunitas sosial, lalu implementasi disain, evaluasi proses dan hasil intervensi, dan kemudian melakukan redisain untuk memperoleh model intervensi yang paling tepat untuk membawa perubahan pada komunitas sosial. Karakter kualitatif pada CBR adalah pada asumsi bahwa gejala sosial itu sangat dinamis, oleh sebab itu harus didekati dengan teori probabilitas, yakni memiliki banyak peluang perubahan yang variatif, oleh sebab itu, tidak mungkin disimpulkan di awal, bahwa perubahan fenomena setelah terjadi intervensi akan sesuai dengan asumsi yang diperkirakan peneliti. Kemudian, penelitian CBR juga meniscayakan perubahan rancangan sesuai dengan perkembangan komunitas sosial setelah memperoleh intervensi. Dengan demikian, karakter CBR adalah naturalistik yang sangat memiliki probabilitas untuk terus berubah secara dinamis, yang pada akhirnya akan menghasilkan rancangan model yang paling sesuai untuk membawa perubahan. Penelitian CBR memang masih dalam rumpun model action research, hanya saja, CBR melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan penelitian tidak sekedar dalam melaksanakan rancangan model yang sudah dirumuskan seorang peneliti sebagai akademisi, sebagaimana lazim dalam action research dan bahkan juga dalam Classroom Action Research (CAR). Penelitian CBR melibatkan masyarakat dalam semua proses penelitian, sebagaimana dijelaskan oleh Rena Pasick dari University of California, San Fransisco, bahwa masyarakat diajak terlibat dalam enam (6) proses penelitian[6], yakni:
Sejalan dengan Rena Pasick, Wilma Brakefield-Caldwell dari Detroit, Michigan, dan Edith Parker dari University of Michigan, menjelaskan bahwa untuk sukses CBR, peneliti, akademisi atau lembaga yang menaungi para peneliti tersebut harus mengembangkan dan memiliki kerjasama yang kuat, sustainable dan bahkan cenderung menjadi kerjasama berkelanjutan, sehingga perubahannya bisa dievaluasi dan perlakuannya bisa terus dikembangkan[7]. Kerjasama yang kuat berkelanjutan antara peneliti, akademisi dengan masyarakat, akan melahirkan hubungan yang mutualistik simbiosis, yakni penelitia akan selalu memperoleh informasi up to date tentang implementasi model yang dihasilkannya, serta perubahan-perubahan yang dihasilkan dengan implementasi modelnya itu, sementara masyarakat juga akan selalu memperoleh masukan-masukan dari akademisi dan peneliti tentang cara mengimplementasikan modelnya, infra struktur apa yang harus diperkuat untuk menyempurnakan implementasi model tersebut, serta antisipasi bias perubahan yang akan muncul. Oleh sebab itu, komunikasi antara akademisi, para peneliti dengan masyarakat harus dikelola dan dikembangkan dengan baik dalam prinsip egality, saling menghargai dan tidak ada diskriminasi karena perubahan strata sosial. Sejalan dengan itu, Sarah Banks mengingatkan, bahwa untuk memperoleh hasil yang optimal, setidaknya ada tujuh etika dasar yang harus dipenuhi dalam CBR[8], yakni:
Ini gambaran CBR yang pernah dilakukan dan dikembagkan di negara-negara maju, khususnya di USA sebagai salah satu negara yang banyak mengembangkan program penelitian dengan model INI. Karakteristik masyarakat Indonesia yang belum 30 % berpendidikan sarjana, pasti berbeda cara berfikir, bertindak dalam dalam mengambil sebuah keputusan. Oleh sebab itu, berbagai norma ini adalah sebuah referensi yang bisa dipertimbangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab DAFTAR BACAAN Banks, Sarah, Community Based Participatory Research A Guide to Ethical Principles and Practice, Center for Social Justice and Community Action, Durham University, UK. 2012. Brakefield-Caldwell, Wilma, dan Edith Parker, Successful models combining intervention and basic research in the context of community based participatory research, dalam Liam R. O’Fallon, Frederick L. Tyson, Allen Dearry, Successful Models of Community-Based Participatory Research, National Institute of Health, Washington DC, 2000. Hine, Gregory S. C.,The importance of action research in teacher education programs, dal am Design, develop, evaluate: The core of the learninenvironment, Proceedings of the 22nd Annual Teaching Learning Forum, 7-8 February 2013. Perth: Murdoch University. http://ctl.curtin.edu.au professional_development/conferences/tlf/tlf2013/refereed/hine.html Kustono, Djoko, et all., Pedoan Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD), Direktorat Jendral Pendidikan Tingi, Kemendibud, 2013. Pasick, Rena, DrPH, Geraldine Oliva, MD, MPH, Ellen Goldstein, MA, Tung Nguyen, MD, dalam Paula Fleisher, MA (Ed),Community-Engaged Research with Community Based Organisation, Community Engagement Program. CTSI, University of california, san Fransisco, 2010. Permendikbud No. 78 tahun 2013 tentang pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi dosen yang menduduki jabatan akademik profesor, pasal 4 dan 5. [1]Djoko Kustono, et all., Pedoan Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD), Direktorat Jendral Pendidikan Tingi, Kemendibud, 2013, h. 11 [2]Permendikbud No. 78 tahun 2013 tentang pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi dosen yang menduduki jabatan akademik profesor, pasal 4 dan 5. [3]Sarah Banks,Community Based Participatory Research A Guide to Ethical Principles and Practice, Center for Social Justice and Community Action, Durham University, UK. 2012, p. 6 [4]Rena Pasick, DrPH, Geraldine Oliva, MD, MPH, Ellen Goldstein, MA, Tung Nguyen, MD, dalam Paula Fleisher, MA (Ed),Community-Engaged Research with Community Based Organisation, Community Engagement Program. CTSI, University of california, san Fransisco, 2010, p. 4 [5]Gregory S. C. Hine,The importance of action research in teacher education programs, dal am Design, develop, evaluate: The core of the learninenvironment. Proceedings of the 22nd Annual Teaching Learning Forum, 7-8 February 2013. Perth: Murdoch University. http://ctl.curtin.edu.au professional_development/conferences/tlf/tlf2013/refereed/hine.html [6]Rena Pasick et all., op cit., p.12 [7]Wilma Brakefield-Caldwell dan Edith Parker, Successful models combining intervention and basic research in the context of community based participatory research, dalam Liam R. O’Fallon, Frederick L. Tyson, Allen Dearry, Successful Models of Community-Based Participatory Research, National Institute of Health, Washington DC, 2000, p. 57 [8]Sarah Banks, Op. Cit., h. 8 |
Pembelajaran Berbasis Penelitian
Pengantar Research University, atau Universitas Penelitian, tidak mengubah bingkai penugasan universitas secara regulatif. Universitas tetap memiliki tiga tugas (tri dharma) yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya saja, kalau universitas dikembangkan dalam posisi sebagai teaching university,(universitaspembelajaran) pelaksanaan dharma pembelajaran jauh lebih penting dibanding dengan dharma penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Universitas pembelajaran diharapkan mampu mempersiapkan para mahasiswa memasuki lapangan pekerjaan dengan baik, memiliki keterampilan atau keahlian yang sangat spesifik sesuai kebutuhan pasar, atau justru memiliki general transferable skill yang diperlukan oleh hampir semua institusi pemerintahan atau swasta. Berbeda halnya dengan Research University atau universitas penelitian yang keluar dari bingkai universitas pembelajaran, dan memperkuat fokus pengembangan program penelitian untuk menemukan teori dan teknologi baru, serta menyumbangka teori dan teknologiya itu untuk pemajuan sektor industri, jasa, perdagangan dan lain-lain yang berkonstribusi signifikan terhadap pemajuan ekonomi bangsa. Kendati demikian, research university tidak bisa meninggalkan dharma pendidikan dan pengajaran, karena tugas perguruan tinggi adalah mencetak sarjana, magister dan doktor, yang harus diproses melalui pendidikan dan pengajaran, apalagi untuk sarjana yang harus memiliki skil dan keahlian, yang menuntut proses pembelajaran komprehensif antara penguasaan teori, teknologi dan bahkan etika pengembangan profesi agar bisa menyesuaikan diri dalam lingkungan profesi yang mereka masuki. Pendidikan jenjang sarjana, sesuai Perpres No. 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, bahwa jenjang sarjana dipersiapkan untuk memasuki pasar kerja yang membutuhkan keterampilan atau keahlian. Oleh sebab itu, setiap lulusan sarjana memiliki hak untuk memperoleh Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) yang menjelaskan bahwa kesarjaannya itu memiliki keahlian bidang apa, dan ketrampilan apa, yang semuanya dibuktikan dengan sertifikat keahlian, dan dideskripsikan dalam SKPI. Ketika universitas itu didorong pada fungsi penelitian dengan memperbesar dharma riset dibanding dharma pendidikan dan pengabdian pada masyarakat, maka akan muncul pertanyaan, bagaimana mengefisiensikan proses perkuliahan, karena jika penelitian itu tidak berkorelasi sama sekali dengan pembelajaran, maka karya penelitian tersebut tidak bersinergi dengan pembelajaran dan juga tidak berkontribusi positif dalam pengembangan dan update bahan ajar. Oleh sebab itu, dalam kerangkaresearch university, pengalaman berbagai perguruan tinggi di berbagai belahan dunia, mensinergikan keduanya, sehingga kerja dosen menjadi sangat efisien, dosen mengajarkan temuan-temuannya, dan temuan tersebut akan semakin matang dengan dibahas para mahasiswa. Bagaimana mensinergikan penelitian dengan pembelajaran tersebut, inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pembelajaran Berbasis Penelitian Pembelajaran adalah sebuah proses membangun konsep, bukan memasukkan bagian-bagian ilmu secara parsial pada otak pembelajar. Untuk itu, posisi pengetahuan yang sudah ada dalam otak pembelajar harus diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan dalam menambah informasi baru. Mengutip kritik B.F. Skinner (1904-1990), seorang Psikolog Amerika, terhadap behaviorisme, Cesar Delgado mengatakan, bahwa behaviorisme memandang pembelajar sebagai kotak kosong untuk diisi oleh pengetahuan tanpa mempertimbangkan sama sekali pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Model pembelajaran semacam ini, kemudian akan menghasilkan pemahaman yang kecil-kecil, parsial[1] dan tidak saling menyapa satu sama lain. Padahal belajar merupakan proses membangun pemahaman terhadap pengetahuan baru secara utuh, komprehensif dan holistik. Dengan demikian, posisi pengetahuan yang sudah mereka kuasai sebelumnya sangat penting untuk dikoneksikan dengan pengetahuan baru yang mereka pelajari. Para pembelajar, baik siswa maupun mahasiswa adalah orang yang sudah berpengetahuan, memiliki pengalaman, dan membawa banyak informasi dalam dirinya dari hasil studi mereka sebelum di kelas itu, dan ilmu baru yang akan masuk dalam diri mereka harus berinteraksi dengan informasi-informasi tersebut, sehingga mampu secara sinergis membangun konsep diri mereka, bisa dengan mudah difahami, dianalisis, dan bisa memberikan justifikasi terhadap konsep baru yang mereka hasilkan dari proses pembelajaran, untuk kemudian mampu mempengaruhi perubahan dalam diri mereka, dan ilmu itu menjadi karakter mereka serta mampu membangun prilaku baru berbasis pengetahuannya itu. Model pembelajaran yang dikembangkan aliran konstruktuvisme ini, kemudian direspon positif di kalangan para pendidik yang progresif dan telah menstimulasi dinamika pembelajaran yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah research based learningatau pembelajarn berbasis penelitian. Setidaknya terdapat tiga model pembelajaran berbasis penelitian. Pertama, para mahasiswa diberi tugas oleh dosen untuk melakukan penelitian dalam mata kuliah yang mereka ambil, mereka mempresentasikan hasil penelitiannya, dan dibahas bersama oleh para mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah. Kedua, para dosen mengembangkan silabus dan bahan ajar berbasis hasil penelitian dia, atau program penelitian yang sedang dilakukannya. Dan, ketiga, para dosen mengembangkan berbagai model pembelajaran yang diinspirasi oleh hasil penelitian, yang sengaja dilakukan untuk mengembangkan model pembelajaran secara holistik, dari mulai kurikulum, metode, evaluasi, alat belajar maupun yang lainnya. Pembelajaran berbbasis penelitian dalam model pertama dilakukan oleh mahasiswa. Pengalaman model ini pernah dikembangkan oleh Griffith University, Australia, dengan dua pertimbangan sebagai berikut:[2] Pertama, bahwa penelitian dan karya-karya kreatif yang akan dihasilkannya, validasi dan diseminasi pengetahuan merupakan karya-karya akademik fundamental dalam konteks penguatan research university, untuk mendorong perubahan positif bagi para mahasiswa dengan kekuatan intelektual yang tinggi, dan mampu mengkoneksikan antara penelitian dengan pembelajaran. Berbagai keuntungan pembelajaran berbasis penelitian adalah sebagai berikut:
Kedua, menghasilkan banyak kesempatan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, seperti pembelajaran dengan pengamatan lapangan (inquiry) dan ujicoba yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan hasil belajar para mahasiswa. Kemudian, Alison Green lebih lanjut menjelaskan bahwa Research Based Learning memiliki konsep yang sangat kompleks dan multi aspek, yakni:
Strategi yang pernah digunakan oleh Griffith University, Australia, untuk pelaksanaan Research Based Learning (RBL) adalah sebagai berikut:[3]
Inilah salah satu bentuk belajar berbasis penelitian, dimana program penelitian merupakan bagian dari lesson plan yang disampaikan dosen pada para mahasiswa. Brigid Barron dan Linda Darling-Hammond dari Standford University menyebutnya sebagai Project Based Learning (PBL), sebuah proses pembelajaran berbasis penelitian yang melibatkan tugas yang sangat kompleks. Menurut kedunya, terdapat lima komponen kunci keberhasilan PBL, yakni 1) fokus pada kurikulum, diorganisir dalam seputar pertanyaan yang akan membawa mahasiswa pada pemahaman konsep, 2) fokus pada proses constructive investigationyang melibatkan proses pencarian data, 3) menganalisis data dan membangun sebuah kesimpulan sebagai pengetahuan baru yang diperolehnya, 4) mahasiswa bertanggung jawab untuk merancang pekerjaan dan melaksanakannya dalam sebuah aktifitas yang sangat independen, dan 5) authentic, yakni fokus pada data yang benar-benar ada dalam kenyataan.[4] Pembelajaran dengan penelitian seperti ini, tidak akan memerlukan tatap muka penuh dalam satu semester, tapi beberapa tatap muka menjadi bagian dari proses penelitian, karena berbagai teori yang seharusnya mereka pelajari dalam tatap muka di kelas, justru akan mereka pelajari di perpustakaan dalam proses penyampaian rancangan penelitian mereka, atau justru dalam proses analisis data untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang makna data yang mereka dapatkan di lapangan. Belajar dengan model RBL atau PBL ini akan mengefisiensikan waktu belajar, karena terintegrasi dalam proses penelitian, dan akan semakin efektif karena mereka temukan sendiri teori yang mereka pelajari. Gesa Sonja Elsa van den Broek, peneliti OECD, bahkan menyebutnya sebagai Fostering Communities of Learning (FCL), karena RBL atau PBL sebagai sebuah model kemajuan teknologi pendidikan berbasis teori constructivism, menawarkan suasana belajar yang demokratis, berbasis siswa, dilaksanakan dengan proses pengamatan lapangan (inquiry), diorientasikan untuk memperoleh pemahaman sempurna tentang teori dan teknologi, tugas-tugas yang otentik, penelitian ilmiah yang dilaksanakan secara kolaboratif (antara mahasiswa dengan mahasiswa, dan mahasiswa dengan dosen), dan terjadi pembelajaran resiprokal.[5] FCL yang didorongkan oleh Gesa ini, pada hakikatnya adalah Research Based Learning yang merupakan bagian dari tugas pembelajaran para mahasiswa di kelas mereka dalam semester berjalan. Hanya saja, dengan FCL ini, para mahasiswa mempelajari teori secara bersama di perpustakaan, mengkaji data dengan teori, dan melahirkan sebuah kesimpulan terhadap fenomena atau variabel yang diamatinya. Implementasi model ini kemudian berkembang di dunia akademik, khususnya di perguruan tinggi yang mengintegrasikan program penelitian dan layanan pendidikan dan pengajaran, tidak hanya untuk satu mata kuliah, tapi justru penelitian mikro yang terbatas itu kemudian bisa dikembangkan menjadi karya akhir, bahkan untuk tesis dan disertasi. Tradisi akademik ini berkembang di berbagai perguruan tinggi di dunia, sebagaimana dijelaskan oleh Georgeta Ion, Romiță Iucu, dan Jorge Palacio-Vieira, dari Center for Development and Innovation in Higher Education, Bucharest Rumania, bahwa untuk memperkuat pemahaman dan penguasaan teori, para mahasiswa dibimbing oleh para dosen untuk melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan teori dalam pekerjaan profesi. Dengan kata lain, para mahasiswa mengamati bagaimana teori tersebut bekerja dalam pekerjaan profesional. Tradisi akademik ini akan memperkuat pamahaman mereka terhadap berbagai teori yang dipelajari, melalui proses pengumpulan data yang relevan, melakukan analisis terhadap data yang mereka dapatkan, dan merumuskan kesimpulan. Proses-proses tersebut akan melahirkan interaksi resiprokal antara pengetahuan dengan proses pengamatan, analisis dan penyimpulan dalam menumbuhkan pemahaman terhadap pengetahuan baru.[6] Tradisi akademik serupa juga dikembangkan dalam proses pendidikan di program magister dan program doktor dalam sistem pendidikan di Indonesia, hanya saja konsistensi para mahasiswa dan supervisor untuk merumuskan fokus penelitian dan pengembangan proses interaksi resiprokal antara teori dan praktik, sering kurang terjaga dengan baik, sehingga posisi penelitian untuk memperkuat penguasaan teori terkadang menjadi bias. Ditambah pula, bahwa kini tesis dan disertasi sudah didorong menjadi program independen untuk menghasilkan sebuah karya akademik yang dapat memperkuat teori yang telah ada, mengkritik teori yang ada dan meng-update-nya sesuai data yang berkembang di lapangan profesi, bahkan mungkin menghasilkan teori baru yang benar-benar baru, berbeda dengan teori sebelumnya, atau bahkan belum ada sama sekali. Untuk kepentingan RBL, fokus kajian tesis dan disertasi bisa diarahkan pada penguatan pemahaman teori melalui proses integrasi teori, data, dan proses analisis data, dengan kurikulum mata kuliah yang mereka dalami. Penelitian dengan supervisi para dosen tersebut akan mendapatkan dua hasil sekaligus, yakni kematangan penguasaan teori dan rumusan teori baru. Khusus hasil terakhir, mengandung tiga kemungkinan pola perumusan, yaitu penguatan terhadap teori yang ada, penyempurnaan teori yang sudah ada, atau benar-benar melahirkan teori baru yang belum pernah ada sebelumnya. Model lain dari RBL adalah para dosen mendisain program pembelajaran dengan menginsersi beberapa pokok bahasan dalam kelas dari hasil penelitian terkini, yang dilakukannya sendiri. Para mahasiswa tidak diberi tugas proyek untuk melakukan penelitian, tapi justru dibebani kepercayaan mulia untuk melakukan validasi terhadap teori baru yang ditemukan dosennya dalam penelitian profesional yang dia lakukan. kajian kritis mahasiswa akan semakin memperkuat validitas teori yang ditemukannya untuk kemudian dikembangkan menjadi penelitian lanjutan, atau untuk publikasi internasional. Dengan skema penugasan-penugasan akademik seperti ini, perguruan tinggi benar-benar hadir sebagai lembaga akademik yang menghasilkan teori dan teknologi, dan para dosen dan mahasiswa terlibat penuh dalam inisiasi, perancangan, pengkajian, penyimpulan, validasi, dan bahkan publikasi. Terakhir, inilah tradisi akademik di kalangan profesi pendidik, ketika seorang guru melakukan inovasi pembelajaran dalam kelas, tidak hanya menyangkut proses pembelajaran siswa itu sendiri, melainkan juga kurikulum, manajemen kelas, dan evaluasi. Inovasi yang mereka kembangkan dalam setiap semester itu dicatat, divealuasi, dibahas, dan disimpulkan, sehingga ditemukan model baru, teori baru atau setidaknya praktik baru yang secara akademik membawa perbaikan proses dan hasil belajar siswa. Tradisi akademik ini biasa disebut dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang merupakan terjemahan dari Classroom Action Research (CAR). Dosen atau mahasiswa bisa bermitra dengan para guru di sekolah atau madrasah, dan mereka menjadi observer, lalu mereka membahas bersama, memvalidasi temuan penelitian bersama-sama, dan membuat laporan serta mempublikasikan hasil penelitiannya secara bersama. Dengan tradisi akademik seperti ini, dinamika ilmu, teori, teknologi dan instrumen yang diperlukan dalam peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan, akan sangat berkontribusi terhadap pemajuan sektor pendidikan. Wallahu A’lam bi al-Shawab
Daftar Bacaan
Barron, Brigid, dan Linda Darling Hammond,Teaching for Meaningful Learning: A Review of Research on Inquiry-Based and Cooperative Learning, Edutopia (The George Lucas Educational foundation), Stanford University, USA, 2008. Degaldo, Cesar, Development of a Research-Based Learning Progression for Middle School Through Undergraduate Students’ Conceptual Understanding of Size and Scale, The University of Michigan, USA, 2009. Green, Alison, Good Practice Guide on Research Based Learning, Griffith Institute For Higher Education (GIHE), visitwww.giffith.au.edu/gihe. Ion, Georgeta, Romiță Iucu1, dan Jorge Palacio-Vieira, Research-Based Teaching and Learning in Higher Education: The Perspective of Postgraduate Students, Proceeding paper at the Center for Development and Innovation in Higher Education, Romania, 2011. Sonja, Gesa, Elsa van den Broek, Innovative Research-Based Approaches to Learning and Teaching, OECD Education Working Papers, No. 79, OECD, 2012. [1] Cesar Degaldo, Development of a Research-Based Learning Progression for Middle School Through Undergraduate Students’ Conceptual Understanding of Size and Scale, The University of Michigan, USA, 2009, p. 15. [2] Alison Green, Good Practice Guide on Research Based Learning, Grifith Institute For Higher Education (GIHE), visitwww.giffith.au.edu/gihe. [3] Alison Green, Good Practice Guide on Research Based Learning. [4]Brigid Barron dan Linda Darling Hammond, Teaching for Meaningful Learning: A Review of Research on Inquiry-Based and Cooperative Learning, Edutopia The George Lucas Educational foundation, Stanford University, USA, 2008, p. 3. [5]Gesa Sonja Elsa van den Broek,Innovative Research-Based Approaches to Learning and Teaching, OECD Education Working Papers, No. 79, OECD, 2012, p. 5 [6]Georgeta Ion, Romiță Iucu1, dan Jorge Palacio-Vieira, Research-Based Teaching and Learning in Higher Education: The Perspective of Postgraduate Students, Proceeding paper at the Center for Development and Innovation in Higher Education, Romania, 2011. |