posted Oct 27, 2015, 10:17 PM by Dede Rosyada
Kendati istilah santri lekat dengan para
siswa yang belajar di pondok pesantren, namun kini sudah sering
digunakan untuk meneyebutkan seseorang yang konsisten malaksanakan
seluruh ketentuan agama baik dalam aspek ritual, personal, maupun
sosial, dan bahkan cara pandang terhadap dunia dan profesi sangat
dipengaruhi oleh keyakinan keagamaannya, sehingga seluruh tindakan dalam
hidupnya merupakan perbuatan ibadah, yakni pelaksanaan ajaran agama,
dan bukti ketundukkan kepada Allah semata. Seorang santri yang menjadi
birokrat, dia akan menjadi birokrat yang melaksanakan pelayanan publik
dengan baik sesuai regulasi yang mengaturnya, dia akan berkarya dengan
profesional, penuh inetegritas, berdisiplin, jujur dan tidak akan
korupsi, karena pekerjaan profesinya memberikan layanan pada masyarakat
adalah ibadah kepada Allah, diawali dengan sebuah niat untuk
melaksanakan perintah Allah berkarya sesuai keahliannya, didampingi oleh
keyakinan pada Allah bahwa Dia senantiasa menyaksikan apa yang
dikerjakannya, serta didedikasikan untuk Tuhan (Allah), dan
kemanusiaan.
Perluasan makna kesantrian tersebut,
pada akhirnya akan memperluasan akomodasi kelompok sosial, sehingga bisa
muncul profesional yang santri, yakni komunitas sosial yang bekerja
dengan ketrampilan dan keahlian hasil pendidikan yang dilaluinya,
bekerja secara total dan menjadi andalan dalam hidupnya, serta mampu
mempertahankan ciri-ciri dan identitas kesantrian dalam berkarya.
Komunitas tersebut kini semakin besar jumlahnya di Indonesia, yang
sebahagiannya merupakan hasil nyata Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
(PTKI) termasuk di dalamnya produk dari kebijakan peningkatan kapasitas
PTKI tersebut dengan perluasan mandat, yang menyumbang secara signifikan
terhadap angka partisipasi kasar pendidikan tinggi nasional. Semua
sarjana PTKI akan menjadi komunitas profesional yang berkarya dengan
keahliannya, apakah mereka alumni program studi keagamaan atau alumni
program studi umum, karena mereka sama-sama terlatih untuk berfikir
ilmiah, yang merupakan modal dasar bagi semua sarajana untuk menjadi
kekuatan sumber daya manusia dalampemajuan bangsa ke depan dengan
kreatifitas dan inovasi mereka. Bersamaan dengan itu, mereka memiliki
modal pengetahuan dan pengalaman untuk menjadi profesional yang tidak
sekedar kreatif dan inovatif tapi juga memiliki kekuatan keimanan yang
dapat menjaga stabilitas spirit kejuangan mereka, mengontrol nafsu
kemanusiaan dalam proses berkarya, sehingga tidak akan melakukan
pelanggaran normatif, baik norma keagamaan, etika maupun aturan
perundangan yang disusun untuk menjaga kemaslahatan bersama, serta
senantiasa menjaga dedikasi semua karya untuk agama dan kemanusiaan.
Untuk mewujudkan cita ideal melahirkan
sarjana yang santri, UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, sebagaimana UIN
lain di Indonesia, sejak awal transformasi atau perubahan bentuk menjadi
universitas dengan memperluas mandat mengelola ilmu-ilmu umum,
mengembangkan tiga kebijakan kajian dan pengembangan keilmuan, yakni:
- Bahwa program studi umum yang dikembangkan di UIN adalah program
studi yang memiliki relevansi sangat kuat terhadap pemahaman ilmu-ilmu
keagamaan, serta sangat dibutuhkan untuk menjelaskan pesan-pesan wahyu
agar lebih elaboratif dan dapat diimplementasikan untuk membawa
perubahan serta perbaikan bagi kehidupan umat manusia.
- Bahwa perluasan mandat untuk mengelola program studi umum dengan
mempelajari serta mengembangkan berbagai disiplin ilmu dalam rumpun
sosial, humaniora dan bahkan sains, semata-mata untuk memperkuat proses
integrasi sains dan agama, sebagai sebuah upaya mengembalikan tradisi
kajian ilmu yang telah pernah mempengaruhi sejarah dan peradaban umat
manusia pada zaman klasik Islam, dengan proyek yang jauh lebih luas,
lebih komprehensif, dan diharapkan akan membawa perubahan peradaban umat
manusia di masa yang akan datang.
- Bahwa perluasan mandat untuk mengelola berbagai disiplin dalam
rumpun sosial, humaniora dan juga sains, semata dengan tujuan mulia
melahirkan sumber daya manusia yang memiliki skil dan keahlian dalam
berbagai bidang kehidupan profesi, dengan kekuatan pengalaman keilmuan
dan tradisi keagamaan yang terintegrasi, sehingga akan senantiasa
menjadi budaya dalam karya profesional dan kehidupan sosialnya. Bahkan
secara ideal, diharapkan perluasan mandat keilmuan tersebut akan
melahirkan berbagai temuan teori, teknologi dan instrumen baru yang
dapat dimanfaatkan untuk pemajuan bangsa, baik ekonomi, sosial maupun
budaya.
Integrasi sains dan agama menjadi
pertimbangan yang sangat penting dalam menetapkan sebuah keputusan
strategis pemerintah untuk melakukan transformasi dan perubahan bentuk
IAIN menjadi UIN. Oleh sebab itu sejak awal perubahan bentuk
transformasi IAIN-UIN, diskursus tentang integrasi sains dan agama
selalu diperbincangkan, baik dari sudut filosofis dan kesejarahannya,
maupun aksiologi pada kurikulum, pembelajaran, budaya kampus sampai
riset dan pubikasi karya ilmiah dosen.
Salah satu konsep universal integrasi sains dan agama dan menjadi pilihan di hampir semua UIN di Indonesia adalah model semipermeable.
Konsep tersebut dikemukakan oleh Amin Abdullah, dalam tulisannya
berjudul Agama, Ilmu dan Budaya, yang disampaikan dalam orasi ilmiah di
forum AIPI di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, pada tahun 2013 yang
lalu, dengan mengutip tulisan Holms Rolston berjudul Science and Religion. Inti konsep semipermeable, adalah
integrasi dengan memperkuat upaya dialog antara sains dengan agama,
sains menjelaskan agama, dan agama mengisi ruang spiritualitas dari
sains. Dan lebih jauh dari itu, agama mampu menjadi inspirasi bagi para
ilmuwan untuk penemuan teori-teori baru dalam sains dan sosial, serta
pengembangan teknologi dan instrumen aksiologis untuk pelaksanaan
teori-teori tersebut.
Dalam tulisan yang sama, Amin Abdullah menjelaskan, setidaknya ada enam (6) cara dalam integrasi sains dan agama, yaitu,Clarification, Complementation, Affirmation, Correction, Verification, dan Transformation. Dengan tidak bermaksud mendahului penggagas awal, penjelasan dari keenam cara tersebut adalah sebagai berikut.
- Clarification, yakni bahwa teori-teori sains, sosial dan
humaniora dijadikan referensi bahkan menjadi materi utama dalam
menjelaskan ajaran agama yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunah,
sehingga akan memiliki makna yang lebih kontekstual, dan akan
terimplementasikan dengan baik sesuai dengan kemajuan peradaban umat
manusia. Al-Qur’an dirumuskan Allah untuk semua komunitas manusia di
seluruh dunia, dan untuk semua zaman. Oleh sebab itu, banyak
pernyataannya yang harus ditarik dari konteks sosial budaya tertentu.
Atau setidaknya, jika lekat dengan konteks sosial budaya, makna
substantifnya sangat universal, yang harus difahami kontekstualisasinya
pada tempat dan zaman tertentu oleh ilmuwan (ulama). Untuk itulah, Allah
melalui RasulNya mendelegasikan pekerjaan besar ini kepada para
ilmuwan, agar ajaran agama tetap memberi pencerahan untuk semua umat
manusia di semua zaman.
- Complementation: yakni memberikan penjelasan normatif
terhadap berbagai aspek kehidupan yang tidak dinyatakan secara eksplisit
dan tidak tercakup secara inplisit dalam teks suci.
Penjelasan-penjelasn normatif berbasis teori-teori sains dan ilmu-ilmu
sosial yang mengatur kehidupan manusia, baik dalam kehidupan profesi
maupun sosial, menjadi bagian dari pemikiran keagamaan sejauh memilki
signifikansi dan relevansi dengan seluruh misi ajaran (mashlahah).
Teknik analisis pengembangan pemikiran keagamaan seperti ini sudah
dikenal sejak zaman klasik Islam dengan berbagai metode analisisnya, dan
bisa diadaptasi untuk kajian-kajian keagamaan di era modern ini. Dengan
demikian, para ilmuwan dituntut oleh agama untuk mengerahkan segenap
kemampuannya dalam memperkaya rumusan pemikiran keagamaan dalam berbagai
aspek kehidupan berbasis teori iilmu pengetahuan, serta mengembangkan
teknologi atau instrumen yang dapat menuntun pelaksanaan norma-norma
keagamaan tersebut.
- Affirmation: yakni memberikan penguatan-penguatan terhadap
pesan-pesan ajaran, yang sumber ajaran sendiri sudah memberikan
penjelasan detail, operasional dan implementatif. Posisi sains dan
ilmu-ilmu sosial humaniora hanya memberi penguatan dengan
penjelasan-penjelasan ilmiah, sehingga mampu diserap, difahami dan
diyakini oleh umat Islam, dan mereka meningkat posisinya menjadi
pengikut agama yang kritis dan faham terhadap agama yang diikutinya itu.
- Correction: yakni teori-teori sains dan sosial itu
dilakukan untuk memberikan koreksi terhadap pemikiran-pemikiran
keagamaan yang dihasilkan oleh para ulama. Tidak ada kewenangan sains
atau teori-teori sosial untuk mengoreksi teks suci al-Qur’an dan
al-Sunah. Akan tetapi bisa memberikan koreksi dan perbaikan terhadap
fatwa-fatwa keagamaan produk analisis dan pemikiran para ulama yang
berbeda atau berlawanan dengan sains atau teori-teori ilmu sosial dan
humaniora, baik karena perbedaan waktu, maupun karena kesenjangan
kompetensi antara ilmuwan agama dengan ilmuwan sains, sosial dan
humaniora. Oleh sebab itu, interaksi akademik antara ilmuwan dalam
bidang-bidang keagamaan dengan ilmuwan dalam bidang sains, sosial dan
humaniora, menjadi sebuah keharusan.
- Verification: Sebagaimana posisi sains dan teori-teori
sosial atau humaniora untuk koreksi pemikiran keagamaan, verifikasi juga
hanya dapat dilakukan terhadap pemikiran keagamaan, bukan pada doktrin
keagamaan. Doktrin keagamaan dalam bentuk teks suci al-Qur’an dan
al-Sunah, hanya dapat diverifikasi oleh Tuhan, dan RasulNya untuk
sunah-sunah beliau. Verifikasi para ilmuwan terhadap agama hanya dapat
dilakukan terhadap produk-produk pemikiran para ilmuwan muslim dalam
bidang-bidang keagamaan yang sangat terkait dengan kehidupan profesi dan
sosial, atau terhadap penafsiran para ulama dari ayat-ayat al-Qur’an
yang terkait dengan kehidupan profesi, sosial, atau bahkan penafsiran
terhadap ilustrasi sains pada ayat-ayat yang menyampaikan pesan ajaran.
- Transformation: Transformasi keagamaan juga hanya dapat
dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan yang sudah tertinggal
oleh konteks sosial, dan tertinggal juga oleh perkembangan sains dan
teknologi. Agama sebagai sebuah ajaran Tuhan, harus tetap up to date,
dan terus sesuai dengan kemajuan peradaban umat manusia. Oleh sebab
itu, teori-teori sains, sosial dan humaniora harus terus dipenetrasikan
terhadap doktrin-doktrin dan pemikiran keagamaan, sehingga agama akan
terus menjadi guideline kehidupan umat di semua tempat dan waktu, tanpa harus bertahan dalam ke-statis-an.
Penjelasan saisn dan ilmu-ilmu sosial
terhadap agama, tidak sekedar dalam aspek-aspek pokok kehidupan
keagamaan, yakni sistem keyakinan, ritual dan etika, hukum keluarga,
bisnis dan berbagai aturan hukum tentang perbuatan kriminal yang telah
diatur sejak dini oleh Allah dan RasulNya, tapi juga dalam berbagai
aspek tentang ilustrasi sains yang disampaikan Tuhan ketika menyampaikan
ajaran-ajaranNya. Di sinilah urgensinya pengembangan mandat pada
perguruan tingi keagamaan Islam, agar dapat memberikan kontribusi
terhadap penyiapan SDM bangsa yang profesional dan santri, dan juga
dapat mengembangkan teori, sains, sosial dan humaniora, serta teknologi
dan instrumen pelaksanaan teori tersebut dalam kehidupan sosial,
sehingga, masyarakat bisa benar-benar memperoleh pencerahan agama tidak
saja dalam kehidupan keagamaan, tapi juga dalam kehidupan profesi dan
sosial. wallahu a’lam.. |
|